
Ussindonesia.co.id , JAKARTA — Pembagian dividen interim dari sejumlah emiten dinilai menjadi sinyal kuat kesehatan keuangan dan arus kas pada 2025. Namun, hal itu ternyata belum menjamin prospek kinerja pada tahun depan.
Berdasarkan catatan Bisnis, terdapat 31 emiten yang dijadwalkan melakukan pembayaran dividen interim mulai awal pekan depan, yakni pada 24 November hingga 19 Desember 2025 dengan total nilai mencapai Rp11,42 triliun.
Guyuran dividen datang dari emiten konglomerasi seperti PT Adaro Andalan Indonesia Tbk. (AADI), PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG), PT Triputra Agro Persada Tbk. (TAPG), hingga PT Medco Energi Internasional (MEDC).
Analis BRI Danareksa Sekuritas, Abida Massi Armand, menuturkan bahwa secara teoritis, dividen interim berfungsi sebagai sinyal positif dari manajemen kepada investor mengenai kinerja keuangan dan arus kas yang sehat.
Selain itu, mengingat mayoritas emiten pembagi dividen berasal dari sektor komoditas yang membukukan laba tinggi berdasarkan data September 2025, sinyal ini menegaskan likuiditas kuat dan profitabilitas historis.
“Terlebih, pada periode ketidakpastian ekonomi, sinyal dividen cenderung menjadi lebih efektif dalam membangun kepercayaan pasar,” tutur Abida saat dihubungi Bisnis pada Jumat (21/11/2025).
: Banjir Dividen Akhir Tahun, Sinyal Kinerja Moncer atau Sekadar Loyalitas?
Namun, meski menjadi kabar baik untuk periode tahun berjalan, dividen interim dinilai memiliki kelemahan sebagai sinyal prospek kinerja pada tahun depan
Menurut Abida, hal itu dikarenakan proyeksi harga komoditas utama, seperti batu bara dan nikel diperkirakan melandai atau kembali normal pada 2026. Proyeksi tersebut dinilai berisiko menekan margin emiten.
“Pembayaran dividen yang terlalu besar dan agresif juga bisa mengindikasikan bahwa manajemen melihat terbatasnya peluang investasi internal yang menguntungkan ke depan, sehingga dana sisa laba didistribusikan kepada pemegang saham atau residual dividend policy,” pungkasnya.
Di sisi lain, dia menyebut suntikan dividen interim sebesar Rp11,42 triliun menjadi katalis likuiditas substansial karena pembayaran terkonsentrasi dalam periode akhir November hingga pertengahan Desember 2025.
Abida menambahkan bahwa nilai tersebut juga setara dengan sekitar 65% dari rata-rata nilai transaksi (RNTH) Bursa Efek Indonesia (BEI), yang berada di kisaran Rp17,54 triliun per hari pada periode awal November 2025.
“Injeksi kas ini sangat penting untuk menopang momentum pasar, terutama karena likuiditas perdagangan harian sempat melambat, dan pasar masih menghadapi tekanan jual bersih asing sepanjang tahun 2025,” kata Abida.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas kerugian atau keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.