Ussindonesia.co.id, JAKARTA – Kabar baik bagi pasar keuangan! The Fed mengisyaratkan penghentian program quantitative tightening (QT) mulai 1 Desember 2025. Kebijakan QT sendiri merupakan strategi pengetatan neraca yang diterapkan The Fed dengan mengurangi kepemilikan obligasi pemerintah dan surat utang beragunan hipotek. Tujuannya? Menyerap likuiditas yang beredar di pasar.
Dengan dihentikannya program QT, The Fed diperkirakan akan memasuki fase netral atau bahkan ekspansif. Ini artinya, likuiditas global berpotensi kembali meningkat, membawa angin segar bagi perekonomian.
Ronny P. Sasmita, Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Institution (ISEAI), menjelaskan bahwa penghentian QT oleh The Fed pada dasarnya menandakan perubahan haluan kebijakan moneter global. Pasar kini bersiap menyambut era baru.
Baca Juga: Sinyal Dovish The Fed Goyang Pasar Kripto, BTC Diramal Tembus US$110.000
Ketika neraca The Fed kembali melonggar, ketersediaan dolar AS di pasar keuangan global akan meningkat. Kondisi ini, menurut Ronny, biasanya memicu aktivitas “search for yield,” di mana investor global berburu aset dengan imbal hasil yang lebih tinggi. Dan, tak jarang, negara berkembang menjadi tujuan utama.
“Bagi Indonesia, hal ini berpotensi menjadi katalis positif bagi aliran modal portofolio ke pasar obligasi dan saham. Indonesia masih menawarkan yield spread yang menarik dibandingkan US Treasury, didukung oleh stabilitas makroekonomi yang relatif terjaga. Dampaknya bisa kita lihat pada penguatan nilai tukar rupiah dan penurunan yield SBN dalam jangka panjang,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (13/11/2025).
Baca Juga: Pejabat The Fed Ragu Lanjutkan Pemangkasan Bunga Imbas Government Shutdown
Ronny menambahkan, kembalinya likuiditas global secara umum akan menguntungkan sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga (interest rate sensitive) dan berorientasi pada pertumbuhan (growth-oriented). Di Indonesia, sektor keuangan seperti perbankan dan multifinance berpotensi menikmati keuntungan dari penurunan yield yang mendorong permintaan kredit dan peningkatan valuasi aset keuangan.
Selain itu, sektor konsumsi dan properti juga berpotensi menerima sentimen positif. Suku bunga yang cenderung lebih stabil dan peningkatan konsumsi domestik menjadi pendorongnya.
Baca Juga: Wall Street Menguat Ditopang Sektor Teknologi, Pasar Nantikan Arah Kebijakan The Fed
“Dari sisi pasar modal, sektor komoditas berbasis ekspor seperti nikel, batu bara, dan CPO juga bisa menarik minat investor. Prospek harga global yang membaik seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi dunia akibat pelonggaran likuiditas menjadi daya tariknya,” jelas Ronny.
Meskipun peluang terbuka lebar, Ronny mengingatkan beberapa risiko yang perlu diwaspadai. Pertama, ketidakpastian arah kebijakan moneter selanjutnya. Jika inflasi AS kembali meningkat, The Fed bisa saja menunda pelonggaran lebih lanjut.
Kedua, risiko geopolitik global, seperti konflik di Timur Tengah atau ketegangan di Laut Cina Selatan, dapat memicu sentimen risk-off yang menekan nilai aset negara berkembang.
Selain itu, faktor domestik seperti defisit fiskal, stabilitas nilai tukar, dan dinamika politik menjelang tahun anggaran baru juga dapat memengaruhi persepsi risiko investor.
“Jadi, meskipun arah arus modal ke depan tampak positif, volatilitas masih akan tinggi dan perlu diimbangi dengan kebijakan domestik yang kredibel serta koordinasi moneter-fiskal yang kuat,” pungkasnya.
_______
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.