BI Suntik Rp 210 Triliun ke Pasar: Apa Dampaknya?

Bank Indonesia (BI) menegaskan komitmennya untuk terus menerbitkan instrumen moneter Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), meskipun porsinya akan terus disesuaikan. Keputusan ini datang seiring langkah BI untuk secara signifikan memangkas nilai SRBI yang beredar menjadi Rp 707 triliun pada 21 Oktober 2025, turun dari angka sebelumnya Rp 916 triliun. Langkah strategis ini mencerminkan upaya BI dalam mengelola likuiditas di pasar uang dan perbankan.

Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juli Budi Winantya, menjelaskan bahwa pemangkasan nilai SRBI ini merupakan bagian dari ekspansi likuiditas. “Sebagai instrumen moneter kontraksi, nilainya menurun dari Rp 916 triliun menjadi Rp 707 triliun. Artinya, terdapat tambahan likuiditas sekitar Rp 210 triliun yang masuk ke sistem keuangan,” ungkap Juli. Selain itu, BI juga menyuntikkan likuiditas melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder, termasuk program debt sharing bersama pemerintah, yang mencapai Rp 199,45 triliun. Tambahan likuiditas lainnya berasal dari Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang mencapai Rp 393 triliun. Secara keseluruhan, injeksi likuiditas BI ke sistem perbankan telah melampaui angka Rp 800 triliun.

Juli Budi Winantya menegaskan bahwa SRBI merupakan instrumen moneter yang vital dan tetap akan diperlukan dalam operasi moneter BI. Instrumen ini berfungsi ganda, baik untuk menyerap likuiditas dari sistem ketika diperlukan, maupun menambah likuiditas dalam kebijakan ekspansif. Lebih jauh, SRBI berperan penting dalam mentransmisikan kebijakan BI Rate ke suku bunga pasar uang, suku bunga perbankan, hingga akhirnya memengaruhi sektor riil perekonomian. Oleh karena itu, keberadaan SRBI sebagai pilar instrumen moneter akan terus dipertahankan.

Melihat ke depan, BI berencana untuk memperkaya jajaran instrumen moneternya dengan memperkenalkan BI Floating Rate Note (BI-FRN). Penambahan ini tidak hanya untuk memperlengkap instrumen yang ada, tetapi juga untuk memperdalam pasar keuangan domestik. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menambahkan bahwa saat ini, aset dasar (underlying asset) yang digunakan adalah SRBI atau SBN. Namun, ke depan, BI akan memperluas cakupan aset dasar tersebut dengan memasukkan surat berharga lain yang berkualitas tinggi, meskipun bentuk spesifiknya akan diumumkan kemudian.

Perluasan aset dasar dan pengenalan instrumen baru ini bertujuan utama untuk mendukung sektor riil melalui peningkatan penyaluran kredit, yang secara tidak langsung akan memperkuat perekonomian nasional. Di tengah inovasi ini, Denny Prakoso menekankan bahwa instrumen SRBI akan tetap menjadi komponen esensial untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan likuiditas di pasar keuangan. “SRBI tetap diperlukan karena menjadi bagian dari instrumen moneter,” tegasnya. BI akan secara berkelanjutan menakar jumlah SRBI yang beredar demi mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah, sekaligus memastikan likuiditas di pasar uang tetap terjaga untuk mendorong pertumbuhan kredit yang sehat.

Ringkasan

Bank Indonesia (BI) mengurangi nilai Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) menjadi Rp 707 triliun dari sebelumnya Rp 916 triliun pada Oktober 2025. Langkah ini merupakan bagian dari ekspansi likuiditas, yang berarti ada tambahan likuiditas sekitar Rp 210 triliun yang masuk ke sistem keuangan. Selain itu, BI juga menyuntikkan likuiditas melalui pembelian SBN dan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM), sehingga total injeksi likuiditas BI ke sistem perbankan melampaui Rp 800 triliun.

SRBI tetap menjadi instrumen moneter vital bagi BI untuk menyerap atau menambah likuiditas. BI juga berencana memperkenalkan BI Floating Rate Note (BI-FRN) untuk memperdalam pasar keuangan domestik dan mendukung sektor riil. Instrumen SRBI akan tetap digunakan untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan likuiditas di pasar keuangan demi mendorong pertumbuhan kredit yang sehat.