Pemerintah pusat menyoroti perbedaan signifikan dalam data simpanan kas daerah antara laporan Bank Indonesia (BI) dan catatan pemerintah daerah (pemda) yang mencapai Rp18 triliun. Situasi ini mendorong Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk mendesak investigasi mendalam demi mengungkap sumber selisih yang mencolok tersebut. Permasalahan ini mencuat dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah 2025, yang turut dihadiri Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian.
Pada kesempatan tersebut, Mendagri Tito awalnya memaparkan data terkini dari BI yang menunjukkan total uang pemerintah daerah yang mengendap di rekening kas daerah mencapai angka fantastis, Rp233 triliun. Rinciannya, simpanan pemerintah kabupaten (pemkab) menjadi yang terbesar dengan Rp134,2 triliun, disusul pemerintah provinsi (pemprov) sebesar Rp60,2 triliun, dan pemerintah kota (pemkot) dengan Rp39,5 triliun.
Namun, Tito segera menyatakan keraguannya terhadap validitas data tersebut. Ia memberikan contoh mencolok simpanan Pemkot Banjar Baru yang mencapai Rp5,1 triliun, padahal pendapatan daerah tersebut bahkan tidak menyentuh angka Rp5 triliun. Atas dasar temuan aneh ini, Kemendagri kemudian melakukan pengecekan langsung ke setiap rekening kas pemda. Hasilnya sangat berbeda: total simpanan kas pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota hanya tercatat sebesar Rp215 triliun. Secara lebih detail, simpanan pemda tersebut terdiri dari Rp64 triliun di tingkat provinsi, Rp119,9 triliun di kabupaten, dan Rp30,1 triliun di kota.
Perbedaan yang signifikan ini menghasilkan selisih Rp18 triliun. “Jadi ada sedikit discrepancy atau perbedaan antara data BI yang Rp233 triliun dengan data melalui rekening yang kami cek masing-masing totalnya Rp215 triliun. Jadi lebih kurang beda Rp18 triliun,” terang Tito, Senin (20/10/2025), menggarisbawahi urgensi untuk memahami akar masalah di balik ketidaksesuaian angka tersebut.
Menurut Mendagri Tito, terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi tingginya simpanan pemda di bank. Ini termasuk tuntutan efisiensi sesuai amanat Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025, proses penyesuaian visi dan misi program prioritas kepala daerah terpilih pasca pelantikan, kendala administratif yang kerap muncul, serta adaptasi terhadap penggunaan e-Katalog versi terbaru. Selain itu, Tito juga menyebutkan pengadaan belanja modal yang bersifat fisik, kecenderungan realisasi APBN yang tinggi di akhir tahun anggaran, keterlambatan penyaluran dana alokasi khusus (DAK) oleh kementerian/lembaga pengampun, serta pembayaran utang iuran BPJS.
Mantan Kapolri ini turut mengkritisi sejumlah daerah yang meskipun memiliki pendapatan tinggi, namun kurang cekatan dalam membelanjakan anggarannya. Pemkab Bojonegoro dijadikan contoh, dengan simpanan kas daerah mencapai Rp3,8 triliun. Tito menjelaskan, “Jadi kecepatan para pencari uangnya, Kadispenda dan Kepala BKAD, itu kecepatannya tinggi, sementara yang dinasnya realisasinya lambat,” sebuah gambaran mengenai ketimpangan antara pendapatan dan belanja daerah.
Menanggapi situasi ini, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa besarnya simpanan pemda di bank secara gamblang menunjukkan bahwa lambatnya belanja daerah bukanlah karena keterbatasan dana. Purbaya, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), justru melontarkan pertanyaan tajam: ke mana larinya uang Rp18 triliun yang menjadi selisih tersebut? Ia meyakini sepenuhnya data yang dimiliki BI, karena data tersebut bersumber langsung dari informasi bank dan tercatat secara sistematis.
Dengan nada tegas, Purbaya menyerukan penyelidikan terhadap ketidaksesuaian data ini. “Kalau di pemda kurang Rp18 triliun mungkin pemerintahnya kurang teliti itu nulisnya. Kalau BI itu pasti sudah di sistem semuanya. Jadi itu mesti diinvestigasi itu ke mana yang selisih Rp18 triliun itu,” tandas Purbaya. Pernyataan ini menekankan pentingnya akurasi data dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah, serta urgensi untuk memastikan bahwa dana yang tersedia benar-benar termanfaatkan secara optimal untuk pembangunan dan pelayanan publik.
Ringkasan
Terdapat selisih data sebesar Rp18 triliun mengenai simpanan kas daerah antara data Bank Indonesia (BI) yang mencatat Rp233 triliun dan data pemerintah daerah (pemda) yang hanya mencatat Rp215 triliun. Menteri Keuangan mendesak investigasi untuk mencari tahu penyebab perbedaan ini, karena data BI dianggap lebih akurat karena berasal langsung dari sistem perbankan.
Mendagri menjelaskan bahwa tingginya simpanan pemda disebabkan beberapa faktor, termasuk tuntutan efisiensi, penyesuaian program kepala daerah baru, kendala administrasi, dan implementasi e-Katalog. Contohnya, Pemkab Bojonegoro memiliki simpanan kas daerah tinggi karena kecepatan pendapatan tidak sebanding dengan realisasi belanja daerah, sehingga Menkeu mempertanyakan ke mana selisih Rp18 triliun tersebut.