Membawa angin segar bagi pengembangan energi terbarukan, Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara menegaskan komitmennya dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau Waste to Energy (WtE). Dalam setiap pembangkit yang dibangun, Danantara menargetkan kepemilikan saham minimal 30%, menunjukkan ambisi besar dalam mengelola limbah menjadi sumber energi.
Ambisi tersebut tidak berhenti pada angka minimal. Pandu Patria Sjahrir, Chief Investment Officer (CIO) Danantara, mengungkapkan potensi untuk menguasai saham lebih dari 30%. “Setiap proyek bisa berbeda-beda. Kami terbuka jika ada technical partner yang ingin memiliki saham lebih, namun target minimal kami adalah 30%. Tentu, kami akan sangat senang jika bisa memegang 51% atau bahkan lebih,” jelas Pandu saat ditemui di gedung Wisma Danantara pada Senin (03/11/2025), menunjukkan fleksibilitas dan visi jangka panjang Danantara.
Sebagai langkah konkret, Danantara akan menggelar tender PLTSa secara serentak di tujuh kota pada 6 November 2025. Pandu kembali menegaskan bahwa meskipun persentase kepemilikan saham akan bervariasi antar proyek, Danantara tetap menargetkan penguasaan minimal 30% di setiap inisiatif pengolahan sampah menjadi energi tersebut.
Keikutsertaan sektor swasta dalam proyek PLTSa ini didorong oleh regulasi terbaru yang memberikan kepastian investasi. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, pemerintah telah menetapkan harga jual listrik dari WtE sebesar US$ 20 per kWh. Pandu menjelaskan, kepastian harga ini sangat penting untuk memberikan insentif kepada pihak swasta. “Yang paling penting adalah proyek ini selesai tepat waktu. Dengan mengetahui angka pasti, sektor swasta terdorong untuk berinvestasi karena dapat menghitung Internal Rate of Return (IRR) yang lebih baik,” ujarnya, menyoroti pentingnya prediktabilitas finansial.
Terkait penetapan harga listrik PLTSa sebesar US$ 20 sen per kWh ini, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, sebelumnya menjelaskan bahwa angka tersebut telah melalui dua kajian mendalam dan direview oleh BPKP. Ia menegaskan, perhitungan ini sangat mempertimbangkan aspek teknis, dan “untuk skala 1000 ton sampah, harga 20 sen itu sudah pas,” katanya saat ditemui usai acara The 11th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2025 di Jakarta, Rabu (17/9/2025). Hal ini juga relevan dengan sorotan bahwa proyek PLTSa Danantara memerlukan jaminan pasokan sampah, sebuah aspek krusial dalam keberlanjutan operasional.
Perubahan penting lainnya dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) terkait WtE adalah penghapusan tipping fee sampah. Ini berarti biaya yang sebelumnya dibayarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) kepada pengelola sampah untuk setiap ton sampah yang diolah menjadi energi listrik kini ditiadakan, menandai pergeseran signifikan dalam model pendanaan dan operasional proyek pengolahan sampah menjadi energi terbarukan ini.
Ringkasan
Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara berinvestasi minimal 30% saham dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di berbagai kota. Danantara menargetkan penguasaan saham minimal ini sebagai komitmen dalam pengembangan energi terbarukan dan pengelolaan limbah menjadi energi, dengan potensi untuk memiliki saham mayoritas jika memungkinkan.
Tender PLTSa akan digelar serentak di tujuh kota, didorong oleh regulasi baru yang memberikan kepastian investasi, yaitu Perpres Nomor 109 Tahun 2025. Perpres ini menetapkan harga jual listrik dari PLTSa sebesar US$ 20 per kWh, yang dinilai penting untuk menarik investasi swasta, dan menghapuskan tipping fee sampah.