Bukit Uluwatu (BUVA) Rights Issue untuk Akuisisi Aset SMRA, Ini Rekomendasi Analis

PT Bukit Uluwatu Villa Tbk (BUVA), emiten milik Happy Hapsoro, bersiap menggelar aksi Penambahan Modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu I (PMHMETD I) atau rights issue pada pekan ini. Langkah strategis ini bertujuan untuk memperkuat permodalan dan mendukung ekspansi bisnis perseroan di sektor properti.

Dalam aksi korporasi ini, BUVA akan menerbitkan 4,02 miliar saham baru dengan nilai nominal Rp 50 per saham. Dengan harga pelaksanaan Rp 150 per saham, total dana yang diincar dari rights issue ini mencapai Rp 603,98 miliar. Setiap pemegang 225 saham lama yang tercatat dalam Daftar Pemegang Saham (DPS) per 5 November 2025 pukul 16.00 WIB berhak atas 44 HMETD, di mana setiap satu HMETD memungkinkan pemegangnya untuk membeli satu saham baru.

Jadwal penting terkait rights issue BUVA telah ditetapkan. Periode Cum-HMETD di Pasar Reguler dan Pasar Negosiasi jatuh pada tanggal 3 November 2025, diikuti Ex-HMETD pada 4 November. Sementara itu, Cum-HMETD di Pasar Tunai adalah 5 November, dan Ex-HMETD pada 6 November. Distribusi HMETD akan dilakukan pada 6 November, dengan pencatatan HMETD di Bursa Efek Indonesia pada 7 November 2025. Periode perdagangan dan pelaksanaan HMETD akan berlangsung mulai 7 hingga 13 November 2025.

Dua pemegang saham utama memainkan peran krusial dalam aksi ini. PT Nusantara Utama Investama (NUI), selaku pemegang saham utama dan pengendali BUVA dengan kepemilikan 67,018% sebelum PMHMETD I, akan memperoleh 2,69 miliar HMETD. Happy Hapsoro, yang memiliki 0,54% saham BUVA, akan mendapatkan 21,67 juta HMETD dan menyatakan akan mengalihkan seluruh haknya kepada NUI. Penting untuk dicatat, pemegang saham yang tidak menggunakan haknya untuk membeli saham baru akan mengalami dilusi kepemilikan maksimum sebesar 16,36%.

Dana segar yang terkumpul dari rights issue BUVA akan dialokasikan untuk beberapa inisiatif penting. Sebesar Rp 416,23 miliar akan digunakan untuk melunasi sisa harga pengambilalihan 99,99% saham PT Bukit Permai Properti dari PT Summarecon Bali Indah dan PT Bali Indah Development, sebagai bagian dari strategi pengembangan usaha. Kemudian, Rp 107,60 miliar akan dimanfaatkan untuk pembelian lahan dan pengembangan area di Pecatu, Bali. Sisanya, Rp 76,6 miliar, akan disuntikkan sebagai penyertaan modal di Bukit Bali Permai (BBP) paling lambat kuartal IV tahun 2025, yang selanjutnya akan digunakan BBP untuk belanja modal berupa pembelian lahan di kawasan Pecatu, Bali.

Menanggapi aksi korporasi ini, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menilai kinerja BUVA menunjukkan perbaikan signifikan sepanjang tahun. Pendapatan BUVA per kuartal III 2025 tercatat Rp 288,70 miliar, naik dari Rp 272,17 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya, dengan laba bersih melonjak menjadi Rp 108,58 miliar dari Rp 14,25 miliar. Sementara itu, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) mencatatkan marketing sales Rp 3,57 triliun per kuartal III 2025, meningkat 31% secara tahunan. Nafan berpendapat, akuisisi aset baru akan menjadi modal ekspansi bagi BUVA, sedangkan penjualan aset menjadi tambahan arus kas bagi SMRA.

Equity Analyst IPOT, Imam Gunadi, menyoroti bahwa rights issue senilai Rp 603,98 miliar yang dilakukan BUVA merupakan langkah krusial untuk memperkuat struktur permodalan dan menambah portofolio aset strategis di Bali melalui akuisisi PT Bukit Permai Properti dari SMRA. Langkah ini dipandang positif karena memperluas eksposur BUVA ke kawasan wisata premium, sejalan dengan pemulihan pariwisata Bali dan peningkatan tingkat hunian hotel kelas atas. Selain itu, rights issue diharapkan dapat mengurangi tekanan utang berbunga BUVA yang mencapai lebih dari Rp 500 miliar pada tahun 2024. Dengan dukungan penuh dari pemegang saham pengendali, aksi ini diperkirakan akan terserap dengan baik, meskipun potensi dilusi saham dan waktu yang dibutuhkan untuk monetisasi aset baru mungkin menciptakan tekanan jangka pendek.

Di sisi lain, aksi korporasi ini memberikan keuntungan jangka pendek berupa tambahan likuiditas dan efisiensi portofolio bagi SMRA. Penjualan aset di Bali selaras dengan strategi asset recycling, yakni melepas aset non-inti untuk memperkuat modal kerja dan fokus pada proyek township utama di Serpong, Bekasi, dan Bandung. Transaksi ini juga membantu memperbaiki arus kas dan mengurangi leverage, terutama setelah SMRA melakukan ekspansi agresif di beberapa kota. Meskipun dampaknya terhadap laba bersih tidak signifikan, langkah ini dianggap strategis positif bagi SMRA karena memperkuat fokus bisnis inti yang menawarkan margin lebih tinggi dibanding segmen perhotelan.

Prospek dan Rekomendasi

Nafan Aji Gusta memproyeksikan kinerja BUVA dan SMRA akan terdorong sentimen penurunan suku bunga bank sentral. Di tengah era suku bunga rendah, permintaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) dapat mendorong kinerja emiten properti, termasuk BUVA dan SMRA. Ia menambahkan, jika pertumbuhan ekonomi melampaui ekspektasi, hal tersebut akan menjadi pendorong pertumbuhan kelas menengah yang akan menopang permintaan sektor properti secara keseluruhan. Namun, Nafan belum memberikan rekomendasi spesifik untuk kedua saham tersebut.

Imam Gunadi melihat prospek BUVA cukup menjanjikan, didukung oleh pemulihan pariwisata nasional. Berdasarkan data BPS, jumlah wisatawan mancanegara mencapai 1,39 juta orang pada September 2025, tumbuh 12,33% YoY, dengan total kunjungan 11,43 juta orang sepanjang Januari–September, naik 10,22% YoY. Pemerintah juga menargetkan 14–16 juta wisatawan sepanjang 2025. Momentum ini menjadi katalis utama bagi kinerja BUVA, terutama karena aset yang diakuisisi berada di destinasi unggulan yang paling diuntungkan dari pemulihan kunjungan wisata.

Sementara itu, SMRA memiliki prospek yang solid, didukung stimulus pemerintah seperti perpanjangan insentif PPN DTP untuk properti hingga akhir 2025 dan potensi penurunan suku bunga acuan di tahun 2026. Faktor-faktor ini akan memperkuat daya beli kelas menengah yang menjadi target pasar utama SMRA. Kontribusi pendapatan berulang dari pusat perbelanjaan dan properti komersial juga akan menjaga stabilitas arus kas perseroan. Dengan fokus pada efisiensi, peluncuran proyek baru bernilai tinggi, dan pemulihan sektor properti nasional, SMRA diproyeksikan masih memiliki peluang mencatat pertumbuhan penjualan dan margin yang lebih baik.

Secara teknikal, pergerakan saham SMRA saat ini berada dalam fase konsolidasi, membentuk pola symmetrical triangle, menandakan fase penantian sebelum arah tren berikutnya terkonfirmasi. Imam menjelaskan, level harga Rp 404 per saham menjadi area kunci atau validation level yang harus ditembus untuk mengonfirmasi potensi pembalikan arah ke tren naik. Jika harga berhasil menembus di atas Rp 404 per saham, momentum penguatan diperkirakan berlanjut dengan target terdekat di Rp 432 per saham, yang juga merupakan area resistensi kuat berikutnya. Untuk BUVA, mengingat periode rights issue dengan cum date 3 November dan ex date 4 November 2025, harga saham akan menyesuaikan terhadap nilai teoritis setelah ex date. Oleh karena itu, level teknikal seperti support dan resistance perlu disesuaikan kembali berdasarkan harga pasca-penyesuaian.

Kevin Halim, Analis Maybank Sekuritas Indonesia, memberikan pandangan lebih lanjut mengenai lahan seluas 19 hektare yang dijual SMRA. Lokasi lahan ini dekat dengan Alila Uluwatu, memiliki kontur tanah datar, akses jalan yang mudah, dan dekat dengan pantai. Dengan harga pasar di sekitar area tersebut berkisar Rp 3 juta hingga Rp 10 juta per meter persegi, lahan ini memiliki potensi nilai antara Rp 600 miliar hingga Rp 2 triliun. Penjualan lahan ini ditargetkan selesai pada 31 Desember 2025. Berdasarkan analisisnya, Kevin merekomendasikan beli untuk saham SMRA dengan target harga Rp 640 per saham untuk 12 bulan ke depan.