Ussindonesia.co.id JAKARTA. Sinyal perbaikan likuiditas mulai terlihat dalam industri perbankan Indonesia, seiring pertumbuhan kredit yang membaik dan percepatan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK).
Analis Maybank Sekuritas Indonesia, Jeffrosenberg Chenlim dalam riset 10 Oktober 2025 menilai kombinasi pelonggaran kebijakan moneter, percepatan penyaluran dana pemerintah, dan penurunan Loan-to-Deposit Ratio (LDR) akan menjadi katalis positif bagi perbankan nasional, terutama bank yang sensitif terhadap perubahan suku bunga.
Menurut Chenlim, pertumbuhan kredit perbankan nasional naik menjadi 7,6% secara tahunan per Agustus 2025, meningkat dibandingkan 7% secara tahunan pada Juli 2025. Pertumbuhan tertinggi berasal dari kredit investasi yang melonjak 13% secara tahunan, diikuti kredit konsumsi yang tumbuh 7,8%. Namun, kredit modal kerja masih lemah dengan pertumbuhan hanya 3% secara tahunan.
Sektor-sektor dengan pertumbuhan kredit tertinggi adalah pertambangan dan penggalian naik 23% secara tahunan serta transportasi dan komunikasi naik 15,1% yoy. Sementara, sektor seperti utilitas, perdagangan, manufaktur, dan pertanian mencatatkan pertumbuhan yang jauh lebih lambat.
BTN Klaim Sudah Serap Rp 10,5 Triliun Dana SAL, Purbaya Bakal Cek Langsung
“Pertumbuhan kredit diperkirakan akan normal di kisaran 7%–9% sepanjang 2025, mencerminkan permintaan kredit yang membaik namun tetap selektif,” ujar Jeffrosenberg dalam riset.
Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) tercatat 8% secara tahunan pada Agustus 2025, melampaui pertumbuhan kredit. CASA (Current Account Saving Account) tumbuh 9,7%, sementara deposito berjangka meningkat 5,4%. Hal ini menyebabkan rasio LDR turun menjadi 86,4% pada Agustus, dari puncaknya 88,6% pada Desember 2024.
“Penurunan LDR menunjukkan pelonggaran likuiditas secara bertahap, yang diperkirakan berlanjut seiring potensi pemangkasan suku bunga tambahan dan penyaluran likuiditas dari pemerintah,” tambah Jeffrosenberg.
Pada 12 September 2025, Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, mengucurkan dana sebesar Rp 200 triliun ke lima bank negara yakni BMRI, BBRI, BBNI, BBTN, dan BRIS. Dana ini diarahkan untuk mendukung penyaluran kredit ke sektor riil, dan tidak boleh digunakan untuk membeli obligasi pemerintah.
“Langkah ini, bersama dengan kebijakan pro-pertumbuhan dari Bank Indonesia, akan memperkuat likuiditas dan mendorong permintaan kredit seiring penurunan suku bunga,” jelas Jeffrosenberg.
Di antara bank yang tercakup dalam riset Maybank Sekuritas, BRIS mencatatkan pertumbuhan kredit tertinggi sebesar 13,4% secara tahunan, disusul oleh BBCA naik 11,1%, BMRI naik 10,7%, dan BBNI naik 8,2%. Sebaliknya, BBRI mencatatkan pertumbuhan di bawah rata-rata industri sebesar 5,7% secara tahunan.
Dalam hal pertumbuhan simpanan, BBNI memimpin dengan pertumbuhan 16,6% secara tahunan, diikuti oleh BRIS naik 11% BMRI naik 10,1% dan BBRI naik 9%.
NPL KPR Secara Industri Alami Tren Peningkatan, Begini Kata Bank Danamon
Kualitas aset secara umum masih solid, dengan rasio kredit bermasalah (NPL) industri berada di 2,28% pada Juli 2025, relatif stabil dibandingkan tahun lalu. Namun, segmen UMKM menunjukkan peningkatan risiko dengan NPL naik menjadi 4,41% (dari 4,04%), dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mencatat NPL tinggi di 12,5%.
Khusus untuk KPR, Jeffrosenberg mencatat penurunan kualitas, terutama pada pinjaman berjumlah kecil, yang menunjukkan angka terburuk dalam lima tahun terakhir.
Dengan mempertimbangkan kondisi likuiditas yang membaik, potensi pemangkasan suku bunga, dan prospek pemulihan permintaan kredit, Jeffrosenberg menyebut, prospek terhadap saham bank yang sensitif terhadap suku bunga masih positif. Sementara pilihan saham bank Maybank Sekuritas diantaranya BBRI, BBCA, ARTO, BRIS, BBNI dan BMRI.
Adapun target BBRI di Rp 4.900. Saham BBCA di Rp 11.675, ARTO di Rp 3.600. Sementara BRIS dipasang target di Rp 3.600, BBNI di Rp 4.850 dan BMRI ditargetkan di Rp 5.000.
Meski begitu, Jeffrosenberg menyoroti beberapa potensi katalis positif bagi sektor perbankan, seperti pemulihan ekonomi yang lebih kuat dari perkiraan, penurunan suku bunga acuan, Giro Wajib Minimum (GWM) yang dapat meningkatkan imbal hasil bank.
Namun, ia melihat ada risiko yang harus diwaspadai seperti perlambatan pertumbuhan ekonomi, kebijakan moneter ketat berkepanjangan yang mempersempit margin bunga, memburuknya kualitas aset, khususnya dari konsumsi masyarakat kelas menengah ke bawah.