
Ussindonesia.co.id , JAKARTA – Jumlah perusahaan yang melakukan IPO sepanjang 2025 turun drastis sejak 2023. Penyesuaian ketentuan free float perusahaan tercatat diharap mampu memperbesar likuiditas pasar, yang kemudian bisa memantik minat pelaku usaha untuk go public.
Menilik historis jumlah perusahaan IPO, bursa mencatat terdapat 79 anggota baru pada 2023 dan menjadi rekor terbanyak dalam sejarah. Namun, pada 2024 jumlah perusahaan yang go public mengecil hanya sebanyak 41. Bahkan di tahun ini, target IPO yang dikoreksi ke bawah dari 66 menjadi 45, baru terealisasi 24 hingga saat ini.
Head of Research KISI Sekuritas, Muhammad Wafi mengatakan alasan jumlah perusahaan IPO turun adalah karena tantangan kondisi iklim usaha yang belum stabil, kebutuhan transparansi dan governance yang lebih tinggi, serta biaya IPO yang tidak kecil.
: Bursa Petakan Nasib Emiten Kecil di Tengah Rencana Kenaikan Free Float
“Apalagi, perusahaan non-light house biasanya belum punya brand, track record profit, dan kemampuan memenuhi disclosure sehingga sulit menarik minat investor institusi. Selain itu, pasar juga semakin selektif dan investor cenderung mencari earnings visibility, bukan hanya growth story,” ujar Wafi kepada Bisnis, Selasa (18/11/2025).
Dari sisi regulasi, Wafi menilai banyak calon emiten menunda IPO karena khawatir terkena kewajiban free float yang semakin tinggi.
: : Bocoran Ketentuan Free Float Baru Perusahaan Hendak IPO
“Namun, ke depan aturan free float baru bisa positif karena mendorong likuiditas, memperbaiki kualitas pasar, dan bikin Indonesia makin menarik buat asing,” tegasnya.
Sementara itu, Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Hari Rachmansyah menyoroti data emiten di pasar saham, bahwa sampai dengan 30 Oktober 2025 terdapat 38 perusahaan tercatat yang disuspensi lantaran belum memenuhi ketentuan pemenuhan saham free float. Kendati begitu, Hari menilai penyesuaian free float ke depan akan membawa dampak positif.
: : OJK Siapkan Kenaikan Bertahap Aturan Free Float Saham, Wacana hingga 25%
“Penyesuaian aturan seperti kenaikan bertahap dan penggunaan kapitalisasi pasar berpotensi meningkatkan likuiditas dan menarik minat lebih banyak perusahaan untuk IPO. Namun, dampaknya tetap bergantung pada kondisi ekonomi dan kesiapan internal masing-masing perusahaan,” ujar Hari.
Sementara bicara soal penurunan jumlah perusahaan IPO tahun ini, Hari menilai kondisi ini tidak sepenuhnya disebabkan aturan free float, namun ketentuan ini memang membuat sebagian perusahaan, terutama skala menengah dan keluarga, lebih berhati-hati karena harus melepas porsi kepemilikan lebih besar dan takut tekanan harga.
Hari menjelaskan, aksi korporasi seperti IPO menuntut kesiapan tata kelola, transparansi, laporan keuangan, serta biaya tinggi, dan tantangan ini menurutnya akan lebih berat bagi perusahaan non-lighthouse yang belum memiliki brand kuat.
“Mereka sering kesulitan menarik minat investor, harus memberi diskon valuasi lebih besar, menghadapi likuiditas yang berisiko rendah setelah listing, dan membutuhkan peningkatan signifikan pada sistem internal serta manajemen untuk memenuhi standar sebagai perusahaan publik,” pungkasnya.
BEI Godok Ketentuan Free Float Baru Emiten IPO
Sebelumnya, BEI menyampaikan tengah menggodok regulasi penyesuaian free float. Saat ini, ketentuan tersebut diatur di dalam Peraturan Nomor I-A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat.
Beleid tersebut mengatur bahwa perusahaan tercatat agar dapat tetap tercatat di bursa apabila memenuhi persyaratan jumlah saham free float paling sedikit 50 juta saham dan paling sedikit 7,5% dari jumlah saham tercatat.
Sementara bagi perusahaan yang akan go public, jumlah saham free float akan disesuaikan berdasarkan ekuitas yang dimiliki calon perusahaan tercatat. Untuk perusahaan dengan nilai ekuitas kurang dari Rp500 miliar, saham free float paling sedikit 20% dari jumlah saham yang akan dicatat di bursa.
Sedangkan, bagi perusahaan dengan ekuitas mulai dari Rp500 miliar hingga Rp2 triliun saham free float minimal 15% dari jumlah saham yang akan dicatat di bursa, serta untuk perusahaan dengan ekuitas lebih dari Rp2 triliun saham free float minimum sebesar 10%.
Free float adalah jumlah saham perusahaan terbuka yang beredar dan dapat diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia oleh investor. Jumlah saham free float mencerminkan tingkat akses investor terhadap emiten. Semakin besar free float, semakin mudah saham tersebut diperdagangkan.
Direktur Pengembangan BEI Jeffery Hendrik mengatakan pihaknya sudah menyiapkan draft peraturan revisi, yang salah satunya memuat dasar perhitungan free float akan diganti dari ekuitas menjadi kapitalisasi pasar.
“Kita sudah membuat simulasi, dari sebelumnya equity ke market capitalization itu berkorelasi positif terhadap kewajibannya dia meningkatkan. Anggaplah dengan metode equity dia hanya 10%, tapi dengan market cap dia wajib ke 15%. Kita sudah lakukan backtesting 3 tahun, dengan mengubah ketentuan ini bisa meningkatkan jumlah market capitalization,” ujar Jeffery beberapa waktu lalu, dikutip Selasa (18/11/2025).
Dalam draft peraturan terbaru yang BEI susun, juga akan mengatur kewajiban bagi perusahaan yang baru melaksanakan IPO untuk menjaga persentase saham free float mereka sebesar persyaratan awal selama satu tahun.
Dia mencontohkan, misalkan ada perusahaan dengan ekuitas Rp500 miliar sampai Rp2 triliun melaksanakan IPO, maka wajib memenuhi ketentuan free float minimum 15%. Persentase ini wajib untuk tetap tidak berubah minimal selama setahun sejak pencatatan di lantai bursa.
Jeffery menekankan BEI serius untuk melakukan upaya pendalaman pasar sehingga melakukan penyesuaian persyaratan free float, baik bagi perusahaan calon maupun perusahaan yang telah tercatat di bursa.
“Kita sudah presentasi ke OJK, jadi dalam waktu dekat [diterapkan]. Kita harapkan secepatnya,” tandasnya.
Setali tiga uang, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi mengatakan upaya pendalaman pasar modal melalui penyesuaian ketentuan free float kini menjadi fokus utama OJK dan berharap implementasinya bisa diterapkan segera.
“Target kita 25%, tapi tidak mungkin langsung ke 25% karena konsekuensinya cukup banyak. Jadi kita secara bertahap mungkin dalam waktu dekat naik ke 10%, dan paling tidak kita upayakan IPO yang ke depan harus minimal 10%, berikutnya 15%, berikutnya mengarah ke 25%,” ungkapnya.
________
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.