Polemik Uang Pemda di Bank, Ini Kata Purbaya, KDM, dan BI

Polemik dana pemerintah daerah (Pemda) yang disebut mengendap di bank hingga ratusan triliun rupiah memunculkan saling klarifikasi antara Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM), dan Bank Indonesia (BI).

Dedi menilai pemerintah pusat perlu membuka data daerah mana yang penyerapan anggarannya lemah. Menurutnya, transparansi perlu dilakukan agar tidak menimbulkan opini bahwa semua daerah sama-sama lemah dalam mengelola keuangan. Ia menilai langkah itu penting untuk menghormati daerah-daerah yang bekerja dengan baik.

“Untuk itu, dugaan tentang Rp 200 triliun dana yang masih tersimpan di daerah-daerah dan belum terbelanjakan dengan baik, sebaiknya daripada menjadi spekulasi yang membangun opini negatif, umumkan saja daerah-daerah mana saja yang belum membelanjakan keuangannya dengan baik,” kata Dedi beberapa waktu lalu.

Menanggapi hal itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa data dana pemerintah daerah yang disebut mengendap bukan berasal dari Kementerian Keuangan, melainkan dari laporan sistem keuangan BI.

“Tanya saja ke Bank Sentral. Itu kan data dari sana. Harusnya dia cari, kemungkinan besar anak buahnya itu ngibulin dia,” kata Purbaya.

BI pun buka suara soal data simpanan Pemda di perbankan yang sempat dipertanyakan KDM. Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menjelaskan bahwa data simpanan Pemda berasal dari laporan resmi seluruh kantor bank yang disampaikan setiap bulan kepada BI.

“Bank Indonesia memperoleh data posisi simpanan perbankan dari laporan bulanan yang disampaikan oleh seluruh kantor bank. Bank menyampaikan data tersebut berdasarkan posisi akhir bulan dari bank pelapor,” kata Ramdan dalam keterangan tertulis, Rabu (22/10).

Ia menegaskan, setelah laporan diterima, BI melakukan proses verifikasi dan pengecekan kelengkapan data sebelum mengagregasikannya. Data tersebut kemudian dipublikasikan secara terbuka dalam Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) di situs resmi Bank Indonesia.

Berdasarkan data BI yang dirilis oleh Kemendagri pada Senin (20/10), per 30 September 2025 jumlah simpanan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di bank mencapai Rp 233,97 triliun.

Rinciannya, simpanan dalam bentuk giro Rp 178,14 triliun, deposito Rp 48,40 triliun, dan tabungan Rp 7,43 triliun.

Jika dirinci, simpanan pemerintah provinsi dalam bentuk giro mencapai Rp 45,24 triliun, deposito Rp 14,35 triliun, dan tabungan Rp 610 miliar.

Adapun lima provinsi dengan nilai simpanan tertinggi di perbankan adalah DKI Jakarta Rp 14,68 triliun, Jawa Timur Rp 6,84 triliun, Kalimantan Timur Rp 4,7 triliun, Jawa Barat Rp 4,1 triliun, dan Aceh Rp 3,1 triliun.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kemudian mendatangi kantor Bank Indonesia (BI) pada Rabu (22/10) untuk mendapatkan penjelasan langsung atas polemik tersebut.

Polemik ini muncul usai paparan Mendagri Tito Karnavian dan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa yang menyatakan ada Rp 4,1 triliun dana Jabar mengendap di bank.

Padahal, berdasarkan data Dedi, kas daerah Jabar hanya Rp 2,6 triliun, bukan Rp 4,1 triliun seperti yang disebut.

“Ya hasilnya, kalau kita melihat data memang per hari ini, per tanggal 17 Oktober, dana di kas Provinsi Jabar memang Rp 2,6 triliun, bukan Rp 4,1 triliun,” kata Dedi saat ditemui wartawan di BI, Rabu (22/10).

Dedi menjelaskan, BI memegang data pelaporan keuangan per 30 September 2025, yakni data dana kas daerah Jabar dalam bentuk giro Rp 3,8 triliun.

“Sisanya adalah dana BLUD yang tersimpan dalam bentuk deposito di BLUD masing-masing di luar kas daerah karena mereka melakukan pengelolaannya sendiri seperti rumah sakit, dinas kesehatan, atau lembaga-lembaga yang memberikan layanan kesehatan. Tapi dana dalam bentuk simpanan atau deposito di kas daerah tidak ada,” ujar Dedi.

KDM menerangkan bahwa BI tidak memiliki data harian, sedangkan Kemendagri dan Pemprov memiliki data harian di SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan Daerah).

“BI itu hanya mengambil data-data dari bank kemudian dicatat dan dilaporkan setiap akhir bulan. Itu persoalannya,” ujar KDM.

Menurut KDM, penilaian akhir kemampuan belanja pemerintah daerah adalah pada akhir tahun. “Di tanggal 31 Desember, pemerintah Provinsi Jabar berhasil membelanjakan uang berapa? Andai kata ada sisa, sisanya harus wajar,” katanya.