JAKARTA — Bank Indonesia (BI) memproyeksikan laju pertumbuhan ekonomi global akan mengalami perlambatan signifikan, dengan estimasi bergerak di bawah level 3 persen pada tahun 2025. Dinamika ini diperkirakan akan menciptakan skenario yang beragam, di mana sebagian negara menghadapi tekanan perlambatan, sementara beberapa lainnya justru menunjukkan resiliensi yang lebih baik.
Pergeseran proyeksi ini dijelaskan oleh Juli Budi Winantya, Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) BI, yang mengungkapkan bahwa jajaran Dewan Gubernur BI telah merevisi pandangan mereka terkait ekonomi dunia. Revisi ini terutama dipicu oleh dampak implementasi kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) yang semakin meluas. BI secara intensif mencermati perkembangan kebijakan tersebut, yang berpotensi menimbulkan efek substansial bagi banyak negara.
“Pesan utama dari kondisi global adalah bahwa ada banyak dinamika yang terjadi, terutama yang terkait dengan tarif,” tutur Juli dalam acara Pelatihan Wartawan Bank Indonesia Kuartal III 2025 di Yogyakarta, Jumat (22/8/2025). Ia menambahkan bahwa pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Juli 2025, data menunjukkan tarif AS hanya berlaku untuk 44 negara. Namun, pada RDG Agustus 2025, cakupan tarif tersebut meluas secara drastis dari 44 negara menjadi 70 negara, menandakan eskalasi risiko yang signifikan.
Juli menerangkan bahwa respons dan dampak kebijakan tarif resiprokal AS ini bervariasi antarnegara. Beberapa negara terpukul dengan pengenaan tarif yang lebih tinggi, sementara yang lain berhasil mengamankan tarif yang lebih rendah. Negara-negara yang mengalami kenaikan tarif signifikan antara lain India dan Swiss. India, yang semula dikenai tarif 25 persen, melonjak dua kali lipat menjadi 50 persen. Demikian pula Swiss, tarifnya naik dari 31 persen menjadi 39 persen, menjadikannya negara-negara utama yang menanggung beban kenaikan tarif.
Sebaliknya, beberapa negara berhasil menegosiasikan penurunan tarif resiprokal AS. Indonesia menjadi salah satu contoh keberhasilan negosiasi, di mana tarif yang semula 32 persen berhasil diturunkan menjadi 19 persen. Negara-negara utama di Eropa juga mengalami penurunan tarif yang signifikan, dari 50 persen menjadi 15 persen. Bahkan Tiongkok, yang awalnya dikenai tarif sangat tinggi sebesar 145 persen, kini menghadapi tarif 41 persen setelah penyesuaian. “Perbedaan antarnegara ini menunjukkan kompleksitas dampak kebijakan tarif,” jelas Juli.
Secara umum, perkembangan tarif ini telah menimbulkan risiko bahwa ekonomi dunia akan tumbuh lebih lemah dari proyeksi awal. Oleh karena itu, BI juga melakukan revisi terhadap perkiraan pertumbuhan ekonomi sejumlah negara. AS, misalnya, proyeksi pertumbuhannya direvisi turun dari 2,1 persen menjadi 2 persen. India juga diperkirakan mengalami sedikit perlambatan, dari 6,6 persen menjadi 6,5 persen.
Namun, di sisi lain, negara-negara yang mendapatkan tarif lebih rendah, ditambah dengan data ekonomi terkini yang masih kuat, diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Eropa, yang mulanya diproyeksikan tumbuh 0,9 persen, kini naik menjadi 1 persen. Tiongkok juga menunjukkan peningkatan proyeksi dari 4,3 persen menjadi 4,6 persen, begitu pula Jepang yang diprediksi tumbuh 1 persen dari sebelumnya 0,8 persen. “Intinya, rangkuman ini mengindikasikan bahwa ekonomi dunia dengan perkembangan terkini berpotensi lebih lemah dari perkiraan awal di angka 3 persen,” tegas Juli.
Pernyataan ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam RDG Agustus 2025 pada Rabu (20/8/2025). Perry menegaskan bahwa perekonomian dunia melemah seiring dengan meluasnya implementasi tarif resiprokal AS. Sejak 7 Agustus 2025, tarif tersebut memang telah meluas dari 44 negara menjadi 70 negara, dengan tarif kepada sebagian negara seperti India dan Swiss lebih tinggi dari pengumuman semula. Analisis BI menunjukkan bahwa implementasi tarif ini menimbulkan risiko yang semakin besar terhadap melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia, dengan proyeksi pertumbuhan 2025 berpotensi lebih rendah dari prakiraan sebelumnya sekitar 3 persen.
Seiring dengan kondisi ekonomi global yang melambat, BI juga menilai bahwa kebijakan moneter di berbagai negara cenderung akomodatif. Diperkirakan Fed Funds Rate (FFR) akan mengalami penurunan sebanyak dua kali pada semester II 2025, masing-masing sebesar 25 basis poin (bps), dengan probabilitas yang semakin tinggi. “Ini adalah dampak dari kondisi pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi melambat,” pungkas Perry, menyoroti respons bank sentral terhadap tantangan ekonomi mendatang.