Harga Minyak Anjlok! Perang Dagang AS-China Kembali Memanas

SINGAPURA – Pasar harga minyak kembali menunjukkan gejolak. Setelah sempat menguat di awal perdagangan sesi Asia, kini minyak mentah berbalik arah melemah, terbebani oleh ketidakpastian seputar ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China. Kondisi ini dikhawatirkan dapat memukul mundur permintaan bahan bakar global.

Pada Selasa, 14 Oktober 2025, pukul 14.00 WIB, harga minyak mentah berjangka jenis Brent untuk kontrak pengiriman Desember 2025 tercatat turun 28 sen atau 0,4%, menjadikan harganya US$63,04 per barel. Penurunan serupa juga dialami oleh West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman November 2025 yang melemah 23 sen atau 0,4% menjadi US$59,26 per barel.

Kontras dengan performa sesi sebelumnya, di mana Brent berhasil ditutup menguat 0,9% dan WTI AS naik 1%. Pembalikan arah ini menegaskan betapa sensitifnya pasar minyak terhadap dinamika geopolitik global, khususnya hubungan antara dua ekonomi terbesar dunia.

Suvro Sarkar, pimpinan tim sektor energi di DBS Bank, menyoroti pernyataan tegas dari Tiongkok yang “bersumpah untuk berjuang sampai akhir” jika ada perlawanan dalam perundingan. “Retorika semacam itu dari kedua belah pihak akan sangat memengaruhi pasar minyak. Meskipun demikian, kami memperkirakan pergerakan harga minyak akan tetap dalam rentang yang cukup lebar dalam waktu dekat,” jelas Sarkar, menggambarkan volatilitas yang mungkin terus membayangi.

Meskipun demikian, sinyal positif sempat muncul ketika Menteri Keuangan AS Scott Bessent pada hari Senin mengonfirmasi komitmen Presiden Donald Trump untuk bertemu Presiden China Xi Jinping di Korea Selatan bulan ini. Pertemuan ini diharapkan dapat menjadi upaya meredakan ketegangan yang mengancam tarif dan kontrol ekspor.

Namun, harapan tersebut kembali meredup akibat sejumlah perkembangan kontroversial pekan lalu. Beijing memperluas kontrol ekspor logam tanah jarang, sementara Trump mengancam akan mengenakan tarif 100% dan pembatasan ekspor perangkat lunak mulai 1 November. Ini semua telah memperkeruh sentimen pasar dan menambah daftar panjang perselisihan dagang.

Situasi semakin rumit pada hari Selasa ketika Beijing mengumumkan sanksi terhadap lima anak perusahaan pembuat kapal Korea Selatan Hanwha Ocean yang memiliki keterkaitan dengan AS. Selain itu, AS dan China juga akan mulai mengenakan biaya pelabuhan tambahan kepada perusahaan pelayaran laut yang mengangkut beragam komoditas, dari mainan liburan hingga minyak mentah, menambah beban biaya logistik global.

Keraguan terhadap prospek perdamaian juga disuarakan sendiri oleh Trump. Melalui Truth Social, ia meragukan pertemuan dengan Xi dalam KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Korea Selatan yang dijadwalkan pada 30 Oktober dan 1 November, menyatakan, “Sekarang sepertinya tidak ada alasan untuk melakukannya.” Pernyataan ini semakin menumbuhkan ketidakpastian di tengah upaya meredakan ketegangan perdagangan.

Di luar dinamika geopolitik, harga minyak mentah AS untuk kontrak bulan depan mengakhiri perdagangan Senin dengan premi terkecil sejak Januari 2024 untuk kontrak bulan ketujuh. Kondisi ini terjadi karena OPEC+ meningkatkan pasokan, sementara pemeliharaan kilang musiman di AS menekan permintaan untuk barel produksi cepat, menunjukkan adanya tekanan ganda dari sisi penawaran dan permintaan di pasar minyak global.

Ringkasan

Harga minyak mentah global kembali melemah akibat ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China. Pada tanggal 14 Oktober 2025, harga minyak mentah berjangka jenis Brent dan West Texas Intermediate (WTI) mengalami penurunan setelah sempat menguat di sesi sebelumnya. Ketidakpastian terkait perang dagang dikhawatirkan akan berdampak negatif pada permintaan bahan bakar global.

Sentimen pasar diperburuk oleh pernyataan dari kedua belah pihak yang menunjukkan potensi konflik berkelanjutan dalam perundingan. Selain itu, sanksi baru dan keraguan dari Presiden Trump mengenai pertemuan dengan Presiden Xi semakin meningkatkan ketidakpastian. Peningkatan pasokan dari OPEC+ dan penurunan permintaan akibat pemeliharaan kilang di AS juga menambah tekanan pada harga minyak.