Kinerja Indeks Hijau Meredup, Analis Sebut Saham Sektor Ini yang Jadi Penopangnya

JAKARTA – Indeks saham yang mengusung prinsip environmental, social, and governance (ESG) saat ini tengah kehilangan daya tariknya di pasar. Menurut pengamatan para analis, penopang utama indeks ini telah mengalami pergeseran signifikan, dari yang awalnya didominasi oleh saham-saham perbankan kini beralih ke sektor komoditas seperti logam, energi, dan minyak kelapa sawit (CPO).

Sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan pada Selasa, 14 Oktober 2025, kelima indeks ESG di Indonesia secara kompak menunjukkan kinerja yang kurang memuaskan, ditandai dengan angka merah.

Indeks IDX LQ45 Low Carbon Leaders menjadi yang paling tertekan, membukukan koreksi sebesar 12,83% secara Year-to-Date (YtD). Diikuti oleh ESG Quality 45 IDX KEHATI yang melemah 8,42%, Sri-Kehati 8,09%, Index ESG Sector Leaders IDX Kehati 7,63%, dan Index ESG Leaders 7,46%.

Analis BRI Danareksa Sekuritas, Abida Massi Armand, menjelaskan bahwa lesunya laju indeks ESG ini disebabkan oleh tekanan jual investor asing pada saham-saham perbankan berkapitalisasi besar yang memiliki bobot dominan dalam komposisi indeks. Ekspektasi akan berlarutnya tren suku bunga acuan global yang tinggi, ditambah penurunan margin bunga bersih perbankan, mendorong investor asing untuk melepas kepemilikan mereka di sektor finansial tradisional.

Abida mencermati bahwa saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) menjadi target utama penjualan asing. Sejak awal tahun hingga Senin, 13 Oktober 2025, investor asing tercatat telah membuang saham ketiganya masing-masing sebesar Rp 31,74 triliun, Rp 17,29 triliun, dan Rp 2,52 triliun.

Senada, Chief Executive Officer Edvisor Profina Visindo, Praska Putrantyo, juga melihat saham PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) dan PT Aspirasi Hidup Indonesia Tbk (ACES) turut diobral oleh investor asing. Dana asing yang keluar dari kedua saham ini masing-masing mencapai Rp 1,45 triliun dan Rp 295,45 miliar sejak awal tahun. “Ini karena faktor risiko pasar dari aspek makroekonomi dan sektoral, seperti daya beli yang belum cukup pulih dan ekspektasi pemulihan perekonomian yang belum besar,” jelas Praska kepada Kontan, Selasa (14/10/2025).

Saat ini, indeks ESG cenderung lebih banyak ditopang oleh saham-saham berbasis komoditas dan energi baru terbarukan (EBT). Abida Massi Armand melihat saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) cukup signifikan menyumbang amunisi bagi laju indeks ESG. Pasalnya, net buy asing di saham ini tercatat sebesar Rp 5,67 triliun sejak awal tahun, dengan return lebih dari 127% YtD.

“Meskipun mulai memasuki area jenuh beli, prospeknya masih positif dengan katalis utama harga emas yang mencetak all-time high di US$ 4.100 per troy ounce, memperkuat potensi kinerja laba divisi logam mulia,” ujar Abida. Selain ANTM, net buy sebesar Rp 3,07 triliun terhadap PT Astra International Tbk (ASII), dengan return lebih dari 21% YtD, menjadikan emiten otomotif ini turut menjadi penggerak indeks hijau. Begitu pula PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), dan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), yang berperan sebagai penahan kemerosotan lebih lanjut pada indeks ESG.

Tak ketinggalan, emiten CPO dan agribisnis seperti PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP), PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), dan PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) juga masuk dalam barisan saham penopang tersebut. “Saham-saham ini juga masih berfundamental baik dari sisi pertumbuhan profitabilitas, walaupun untuk sektor energi terbarukan masih harus memantau secara realisasi proyek ke depannya dan strategi-strategi ekspansi,” imbuh Praska.

Ke depan, investor menurut Praska masih cukup bersikap wait and see terhadap kinerja keuangan saham energi hijau. Namun, peluang indeks ESG untuk kembali naik tetap ada, mengingat prospek sektor EBT masih menarik secara fundamental. Abida sepakat, minat terhadap energi hijau juga menurutnya belum pupus, hanya saja tengah mengalami rotasi sentimen jangka pendek. Di tengah ketidakpastian global saat ini, investor global memang akan cenderung beralih ke energi konvensional dan komoditas, mengingat arus kasnya yang tangguh. Ditambah, investor juga mengamati bahwa pendanaan proyek transisi energi cukup tinggi.

Oleh karena itu, prospek indeks ESG ke depan akan banyak dipengaruhi oleh arah kebijakan suku bunga global dan dinamika harga komoditas. Jika The Fed mulai menurunkan suku bunga di semester I 2026, sektor perbankan menurut Abida berpotensi rebound karena perbaikan NIM dan pertumbuhan kredit. Namun, dalam jangka pendek, komoditas logam, energi, dan CPO kemungkinan tetap menjadi penopang utama indeks hijau seiring tren harga yang masih kuat. “Indeks ESG diperkirakan akan bergeser menjadi lebih pro-komoditas, dengan saham-saham berbasis sumber daya alam dan energi berkelanjutan menjadi tulang punggung baru,” taksirnya.

Rekomendasi Saham

Dengan berbagai sentimen tersebut, Abida Massi Armand menyarankan agar saham-saham perbankan yang bisa diincar investor dalam indeks ini adalah BBCA dan BMRI. Dengan price to book value (PBV) masing-masing 3,5 kali dan 1,8 kali, saham-saham yang kini tertinggal ini masih menarik untuk diakumulasi bertahap menjelang potensi pelonggaran suku bunga. Di sektor pendorong, ANTM menurutnya juga masih prospektif didukung oleh reli harga emas global. Untuk saham CPO seperti AALI dan LSIP, potensi kenaikan juga dilihatnya masih terbuka seiring tren harga CPO yang kuat.

“Sedangkan untuk eksposur EBT, PGEO layak diperhatikan jangka panjang dengan potensi re-rating valuasi di EV/EBITDA 7–8 kali seiring ekspansi proyek panas bumi dan penurunan biaya modal global,” katanya. Sementara itu, untuk jangka panjang, Praska Putrantyo menyebut saham BBRI, BMRI, dan BBCA layak dicermati dengan target harga masing-masing Rp 5.025, Rp 5.200, dan Rp 9.025. Saham PGEO dan ASII juga bisa dipertimbangkan, dengan target masing-masing Rp 1.700 dan Rp 6.200 per saham.