Pada sesi II perdagangan Selasa (14/10) siang ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok tajam, bahkan sempat terperosok hingga 2,12 persen. Kejatuhan signifikan ini, menurut para analis pasar, terutama dipicu oleh meningkatnya kekhawatiran investor terhadap eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang kembali memanas.
Cliff Nathaniel, seorang analis dari Panin Sekuritas, menegaskan bahwa sentimen negatif yang memukul IHSG ini mencuat setelah China secara tegas menyatakan kesiapannya untuk ‘bertarung hingga akhir’ jika AS terus melanjutkan langkah-langkah agresif dalam perang dagang mereka. Pernyataan tersebut, yang disampaikannya kepada kumparan pada Selasa (14/10), jelas menyoroti tingginya tensi geopolitik yang berdampak langsung pada pasar saham.
Tak hanya retorika, Cliff menambahkan, China juga mengambil langkah konkret yang semakin memperkeruh suasana. Kebijakan baru berupa pungutan biaya pelabuhan khusus terhadap kapal-kapal yang dimiliki, dioperasikan, atau dibangun di Amerika Serikat, secara signifikan memperburuk sentimen pasar global. Kebijakan ini, menurutnya, menjadi indikator nyata peningkatan tensi perdagangan antara kedua raksasa ekonomi tersebut, yang tentu saja menambah tekanan bagi para investor.
Di samping tekanan eksternal dari perang dagang AS-China, Cliff Nathaniel juga mengidentifikasi adanya sentimen domestik yang tidak kalah berpengaruh dalam menekan pergerakan IHSG. Ia menyoroti rencana Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk menyesuaikan ketentuan minimum free float sebagai katalis negatif utama, khususnya bagi sejumlah saham besar.
Cliff menjelaskan lebih lanjut bahwa keputusan BEI ini sangat berpotensi menjadi bumerang bagi saham-saham konglomerasi. Mengingat sebagian besar saham tersebut cenderung memiliki level free float yang rendah, penyesuaian ketentuan ini secara langsung menimbulkan kekhawatiran dan berujung pada tekanan terhadap pergerakan IHSG.
Hingga pukul 15.06 WIB siang ini, IHSG masih terpaku di zona merah, dengan koreksi mencapai 1,11 persen. Kondisi ini secara gamblang mencerminkan sikap kehati-hatian yang mendalam dari para pelaku pasar dalam menyikapi kombinasi tekanan global yang intens dan kebijakan domestik yang sedang dalam penyesuaian. Keduanya secara kolektif menciptakan ketidakpastian yang signifikan di pasar modal.