Kemenkeu: Penerimaan Bea dan Cukai September Naik 7,1 Persen Jadi Rp221,3 Triliun

JAKARTAKementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan capaian positif dalam penerimaan negara dari sektor kepabeanan dan cukai. Hingga akhir September 2025, realisasi penerimaan ini telah menembus angka Rp221,3 triliun, menunjukkan progres signifikan sebesar 73,4 persen dari target pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Angka ini menandai momentum penting bagi fiskal negara.

Pencapaian ini tidak hanya sekadar memenuhi target, tetapi juga menunjukkan pertumbuhan yang solid. Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, dalam konferensi pers APBN Kita Edisi Oktober 2025 di Kantor Kemenkeu pada Selasa (14/10/2025), menegaskan bahwa penerimaan kepabeanan dan cukai tumbuh impresif sebesar 7,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini menjadi indikator kuat stabilitas dan efektivitas kebijakan fiskal pemerintah dalam mengoptimalkan potensi pendapatan negara.

Jika diuraikan lebih lanjut berdasarkan komponennya, penerimaan cukai tercatat mengalami peningkatan sebesar 4,6 persen, mencapai Rp163,3 triliun hingga September 2025. Yang menarik, peningkatan ini terjadi meskipun produksi cukai hasil tembakau (CHT) justru mengalami penurunan sebesar 2,9 persen. Suahasil Nazara menyoroti resiliensi sektor ini, menyatakan bahwa penerimaan cukai tetap terjaga berkat strategi yang efektif, meski dihadapkan pada tantangan penurunan volume produksi.

Lonjakan signifikan juga terlihat pada komponen bea keluar, yang mencatat kenaikan drastis sebesar 74,8 persen, mencapai Rp21,4 triliun per September 2025 dibandingkan tahun sebelumnya. Suahasil menjelaskan bahwa peningkatan luar biasa ini didorong oleh kombinasi faktor, termasuk kenaikan harga CPO global, peningkatan volume ekspor sawit, serta implementasi kebijakan terkait ekspor konsentrat tembaga. Kontribusi dari sektor ekspor komoditas strategis ini terbukti sangat vital bagi pertumbuhan penerimaan negara.

Namun, tidak semua komponen menunjukkan tren kenaikan. Komponen bea masuk justru tercatat mengalami penurunan sebesar 4,6 persen, menjadi Rp36,6 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini, menurut penjelasan Suahasil, disebabkan oleh sejumlah penyesuaian tarif bea masuk serta dampak dari kebijakan impor komoditas pangan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan di dalam negeri.

Lebih lanjut, Wakil Menteri Keuangan menambahkan bahwa penurunan bea masuk juga dipengaruhi oleh masifnya pemanfaatan perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) yang menawarkan tarif bea masuk lebih rendah. Kebijakan ini, meski mengurangi penerimaan dari bea masuk, dinilai positif karena secara langsung membantu menekan biaya produksi dan investasi dalam perekonomian Indonesia, terutama karena sebagian besar barang yang memanfaatkan fasilitas ini adalah barang modal dan bahan baku untuk industri. Ini menunjukkan upaya pemerintah menyeimbangkan antara pendapatan negara dan stimulasi ekonomi.