
Ussindonesia.co.id , DENPASAR — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa tidak akan memungut pajak baru pada 2026, kendati target penerimaan yang dinilai terlalu tinggi yakni Rp2.357,7 triliun. Otoritas pajak pun memilih opsi untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak.
Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kemenkeu Yon Arsal menegaskan bahwa arahan Menkeu Purbaya jelas kepada anak buahnya terkait dengan tidak adanya pajak baru.
“Kami akan kelola berdasarkan peningkatan kepatuhan administrasi, pemanfaatan Coretax, tetapi secara policy-nya sendiri, sesuai statement Pak Menteri tidak ada policy yang baru dalam bentuk misalnya kenaikan tarif pajak, pengenalan jenis pajak baru dan sebagainya,” terang Yon di Denpasar, dikutip Rabu (26/11/2025).
: Bos Pajak ungkap Alasan Rasio Pajak RI Rendah, Ini 2 Pemicunya
Di sisi lain, pemerintah juga akan tetap memberikan fasilitas keringanan pajak bagi UMKM maupun masyarakat berpenghasilan rendah. Misalnya, UMKM beromzet paling tinggi Rp500 juta tetap dibebaskan dari pajak penghasilan (PPh), sedangkan yang beromzet dari Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar setahun mendapatkan insentif PPh final 0,5% (sampai 2029).
Adapun pemerintah juga tengah menggodok revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.55/2022 yang akan membuat permanen insentif PPh final UMKM 0,5% bagi wajib pajak orang pribadi (WP OP) dan perseroan perseorangan (PT OP). Adapun bagi yang berbentuk WP badan tidak mendapatkan perpanjangan lagi.
: : Dirjen Pajak ungkap Alasan Butuh Bekingan Penegak Hukum
“Kemudian, masyarakat dengan penghasilan di bawah Rp60 juta per tahun tetap juga bebas PPh karena PTKP,” terang Yon.
Di sisi lain, Dirjen Pajak Bimo Wijayanto mengatakan bahwa pihaknya tahun depan ingin memperluas basis penerimaan berdasarkan transaksi digital. Kendati bukan jenis pajak baru, dia ingin memperkuat penerimaan pajak dari perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
: : Ironi Coretax: Proyek Pajak Paling Prestisius yang Selalu Dirundung Masalah
Sebagaimana skema yang sudah berlaku, otoritas pajak akan menunjuk platform sebagai pemungut pajak atas transaksi yang dilakukan di lokapasar (marketplace). Setelah penunjukkan perusahaan-perusahaan luar negeri seperti Netflix, Amazon, Google hingga Youtube untuk memungut pajak di dalam negeri, otoritas ingin hal yang sama turut diterapkan untuk PMSE lokal.
Utamanya, terang Bimo, adalah bagi pedagang (merchant) yang menggunakan PMSE itu sebagai sarana berjualan namun belum dipajaki. Baik itu PPh final UMKM 0,5% maupun yang sudah melebihi ambang batas omzet yakni di atas Rp480 miliar setahun, serta pajak-pajak lainnya.
“Kami tuh pengen platform dalam negeri Blibli, Tokopedia, Shopee, Lazada ya, itu juga level of playing field-nya sama dengan platform luar negeri yang menggunakan media elektronik untuk bisnis mereka. Nah yang lebih dalam lagi ke merchant-merchant yang beroperasi di situ. Ini juga level of playing field merchant-merchant yang tidak menggunakan sarana online sudah melaporkan kewajiban pajaknya,” terang Bimo.
Dirjen Pajak lulusan Taruna Nusantara itu menyebut bahwa UMKM yang sudah beromzet di atas Rp480 miliar atau sudah tidak lagi berstatus PTKP harusnya sudah memulai pembukuan.
Namun, dia mengakui bahwa arahan Menkeu Purbaya yakni tidak ada pajak-pajak baru atau kenaikan tarif pungutan tahun depan utamanya apabila kondisi ekonomi belum memadai. Dia menyebut respons masyarakat menjadi faktor besar bagi otoritas untuk menentukan kebijakan perpajakan ke depan.
“Kami tunggu sampai kondisi lebih confident, karena terus terang saja, kalau platform luar negeri tadi kan konsumennya mungkin menengah ke atas gitu, yang bisa langganan Spotify lah [dan lain-lain]. Sudah ada 246 sebagai pemungut PMSE. Jadi kami tentu berpegangan pada arahan pimpinan apakah itu kuartal I, kuartal II, kuartal III tentu nanti kami akan sampaikan juga ke publik,” terangnya.