The Trunk: Meredefinisi Pernikahan, Membongkar Kuasa dan Trauma

Industri K-drama terus berinovasi, memperluas spektrum genre, dan menyuguhkan perspektif baru yang menyegarkan. Kita telah melihat keunikan drama keluarga superhero di Moving (2023) dan perpaduan fiksi ilmiah dengan noir kriminal di Connect (2022). Kini, hadir The Trunk (2024), sebuah drama gelap yang mengeksplorasi elemen thriller dan misteri melalui narasi slow burn yang memukau.

The Trunk secara cerdas menantang konsep pernikahan, kekuasaan, dan trauma dalam satu paket naratif bergenre drama psikologis thriller. Diadaptasi dari novel berjudul sama karya Kim Ryeo-ryeong, serial ini membawa penonton menyelami dunia kawin kontrak yang penuh rahasia gelap dan konsekuensi tak terduga. Dibingkai dalam sentuhan kisah kriminal psikologis, The Trunk cekatan membongkar lapisan-lapisan kompleks dalam hubungan manusia.

Kisah ini berpusat pada Han Jeong-won (diperankan dengan impresif oleh Gong Yoo), seorang laki-laki yang terbelenggu trauma masa lalu. Ia menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan ayahnya terhadap ibunya. Trauma ini berlanjut ke pernikahan pertamanya dengan Lee Seo-yeon (Jung Yun-ha), di mana ia terjebak dalam hubungan penuh kontrol dan manipulasi.

Untuk alasan yang samar, Seo-yeon lantas menghukum Jeong-won dengan memaksanya menjalani pernikahan kontrak selama satu tahun di bawah naungan perusahaan bernama New Marriage (NM). Perusahaan ini mengatur pasangan untuk menikah dalam periode yang disepakati, tanpa adanya keterikatan emosional yang mendalam. Momen inilah yang mempertemukan Jeong-won dengan istri keduanya, Noh In-ji (Seo Hyun-jin).

Hubungan mereka bermula dari kontrak, kesepakatan, dan uang. Namun, seiring waktu, mereka mulai menelanjangi kebenaran, berbagi rahasia masing-masing—mulai dari pusaran kebohongan dan manipulasi, hingga luka lama yang belum terselesaikan. Dinamika ini menjadi inti yang menggerakkan alur cerita.

Toxic Marriage: Pertaruhan Kuasa dan Perpanjangan Trauma

Salah satu tema sentral dalam The Trunk adalah bagaimana pernikahan dapat bertransformasi menjadi medan pertarungan kuasa, alih-alih tempat yang menyediakan keamanan emosional. Di sinilah The Trunk mendedah tema yang lebih dalam tentang trauma dan manipulasi dalam hubungan pernikahan. Terungkap bahwa setiap karakter dalam drama ini menyimpan luka emosional dari masa lalu yang memengaruhi cara mereka menjalin relasi.

Pernikahan pertama Jeong-won dengan Seo-yeon adalah gambaran hubungan yang tidak sehat, di mana salah satu pihak selalu berusaha mengontrol, mendominasi, dan memanipulasi yang lain. Seo-yeon mencerminkan karakter istri yang manipulatif, dominan, dan posesif. Tindakannya memasang kamera pengintai di lampu rumah tidak hanya menunjukkan hasrat mengendalikan, melainkan juga keinginan untuk berperan sebagai ‘Tuhan’ dalam hubungan mereka. Keinginan Seo-yeon untuk mengawasi setiap gerak-gerik Jeong-won mencerminkan bagaimana pernikahan toksik sering kali didasarkan pada rasa takut kehilangan kontrol, bukan cinta atau kepercayaan.

Di sisi lain, Jeong-won terjebak dalam hubungan ini karena terpapar pola hubungan toksik sejak usia dini. Tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan dan kendali, ia kesulitan mengenali bahwa apa yang dialaminya adalah bentuk hubungan yang tidak sehat. Trauma masa lalu membuatnya menerima perlakuan buruk Seo-yeon tanpa banyak perlawanan, hingga akhirnya ia menyadari bahwa ia memiliki pilihan untuk keluar dari lingkaran tersebut. Masuknya Noh In-ji ke dalam hidup Jeong-won melalui pernikahan kontrak membawa dinamika baru. Berbeda dengan Seo-yeon yang mendominasi, In-ji justru memberikan ruang lebih bagi Jeong-won untuk bernapas dan bergerak.

Chandelier sebagai Simbol Relasi Kuasa dan Luka-Luka Lama

Sebuah chandelier atau lampu gantung di rumah Jeong-won menjadi elemen visual yang kuat dan sarat makna dalam serial ini. Bukan sekadar dekorasi, lampu gantung ini dapat dimaknai sebagai simbol relasi kuasa, trauma, dan luka-luka basah yang merembes ke relasi selanjutnya. Di masa lalu, ayah Jeong-won memasang CCTV tersembunyi di dalam lampu untuk mengawasi istrinya, menegaskan bagaimana kontrol dan kekuasaan sering kali terselubung dalam bentuk pengawasan dan minimnya kepercayaan. Trauma ini terulang kembali ketika Seo-yeon memasang kamera serupa untuk Jeong-won, semakin mempertegas bagaimana siklus pernikahan toksik dapat terus berulang jika tidak dihentikan.

Chandelier ini juga menjadi saksi bisu nestapa yang dialami Jeong-won. Ibunya, yang mengalami penganiayaan bertahun-tahun, memilih mengakhiri hidupnya di bawah lampu tersebut. Kejadian ini meninggalkan bekas mendalam, membuat lampu yang dibencinya itu terus mengingatkannya pada bayangan masa lalu. Puncak metafora ini terjadi ketika chandelier tersebut akhirnya dihancurkan—menandai upaya Jeong-won untuk melepaskan diri dari belenggu trauma dan kontrol yang selama ini mengikatnya. Namun, muncul pertanyaan: apakah penghancuran lampu tersebut cukup untuk benar-benar membebaskan Jeong-won? Ataukah ia tetap akan membawa “the trunk—beban koper dari masa lalu” yang penuh dengan trauma emosionalnya ke dalam hubungan baru? Pada momen ini, mungkin beberapa penonton akan menilai Chandelier lebih relevan sebagai judul serial ketimbang The Trunk, mengingat kilau mewah lampu cantik tersebut bukan sekadar hiasan, melainkan simbol kuat akan relasi kuasa, pengawasan, kontrol, hingga luka batin yang terus bergelayut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Pernikahan: Antara Institusi dan Profesi

Aspek lain yang menonjol dari The Trunk adalah penggambaran pernikahan dari dua perspektif yang sangat berbeda: pernikahan sebagai institusi dan pernikahan sebagai profesi. Secara tradisional, pernikahan selalu dianggap sebagai ikatan yang berlandaskan nilai-nilai sosial, agama, dan budaya, di mana konsepnya adalah cinta, komitmen jangka panjang, dan hubungan yang dibangun di atas kepercayaan serta keintiman. Namun, dalam drama ini, konsep pernikahan institusional justru dipertanyakan melalui konflik Jeong-won dan Seo-yeon.

Dalam adegan emosional, Jeong-won mendapati Seo-yeon telah merahasiakan banyak hal darinya, mulai dari niatan bunuh diri saat hamil besar hingga CCTV di chandelier ruang tamu. Di titik ini, penonton ditantang untuk memikirkan bagaimana kerja-kerja pernikahan dapat menyusun skenario yang diatur demi kepentingan tertentu. Pandangan Jeong-won tentang pernikahan sebagai ikatan yang sakral pun luluh lantak. Institusi pernikahan, dalam hidupnya, ternyata bisa menjadi alat kontrol alih-alih hubungan yang murni berdasarkan kepercayaan dan keintiman.

Konsep revolusioner pernikahan sebagai profesi atau layanan juga diperkenalkan melalui perusahaan NM. Mereka menawarkan pernikahan sebagai kontrak bisnis, di mana individu dapat “menyewa” pasangan untuk waktu tertentu tanpa harus terlibat dalam ikatan emosional permanen. Layanan ini diciptakan untuk mereka yang tidak ingin bersusah payah mencari pasangan, atau membutuhkan status pernikahan karena tuntutan sosial atau karier. Melalui konsep ini, The Trunk mengajukan pertanyaan besar: apakah pernikahan tetap memiliki makna ketika dijadikan sebagai layanan yang bisa diperjualbelikan? Bisakah hubungan yang dibangun berdasarkan kontrak menggantikan keintiman yang lahir dari interaksi alami? The Trunk dengan piawai mengeksplorasi batasan antara kebutuhan manusia akan kebersamaan dan cara modern dalam memenuhi kebutuhan tersebut dengan solusi instan. Konsep kawin kontrak ini juga dapat dipandang sebagai kritik terhadap bagaimana masyarakat modern terkadang melihat pernikahan sebagai formalitas atau solusi praktis untuk masalah pribadi, alih-alih komitmen sakral yang dibangun atas nama cinta.

Hubungan antara Jeong-won dan In-ji berkembang dengan tempo yang alami, jauh dari kesan dipaksakan. Tidak ada romansa instan atau melodrama berlebihan, melainkan sekadar dinamika kompleks yang perlahan mengungkap luka-luka lama dan keterikatan emosional mereka. Pendekatan ini memungkinkan penonton untuk benar-benar menyelami psikologi masing-masing karakter. Gong Yoo dan Seo Hyun-jin patut diacungi jempol karena berhasil membawakan performa akting yang emosinya terasa nyata. Dialog mereka disusun sebagai medan pertempuran emosi yang subtil, tetapi juga tajam. Setiap kalimat yang diucapkan para tokoh efektif mengungkap trauma, kuasa, dan kebohongan yang perlahan terkuak.

Misalnya, dalam salah satu adegan konfrontasi antara Jeong-won dan In-ji, pertanyaan “Apa yang sebenarnya kamu cari dalam pernikahan ini?” muncul. Meski terkesan sederhana, pertanyaan retoris demikian bisa juga menjadi refleksi atas ketakutan dan harapan yang tersembunyi. Atau, ketika Noh In-ji bertanya, “Kenapa kamu membenci sekali lampu di ruang tamu?” Pertanyaan ini menjadi titik awal untuk mengungkap masa lalu dan trauma yang dialami Jeong-won. Tidak ada dialog yang terbuang sia-sia; setiap percakapan membawa bobot emosional yang semakin memperdalam karakter, mengajak pemirsa tidak sekadar menonton dan mendengar, tetapi juga memahami pergulatan batin yang mereka alami.

Sebagai drama thriller psikologis romantis, The Trunk menonjolkan pendekatan slow burn yang terstruktur. Alih-alih mengandalkan kejutan instan, serial ini membangun ketegangan pelan-pelan dengan mengupas setiap momen misteri seperti lapisan bawang. Setiap adegan terasa seperti potongan puzzle yang akhirnya membentuk gambaran besar. Pada saat yang sama, beberapa orang mungkin merasa bingung dengan narasi penceritaan yang non-linear, terutama dengan banyaknya rahasia yang perlahan terungkap. Meski begitu, bagi penggemar cerita-cerita slow burn, justru di situlah letak daya tariknya.

Pada akhirnya, pertanyaan terbesar yang ditinggalkan drama gelap ini bukanlah tentang siapa yang akan bersama siapa. Dengan setiap percakapan dan keputusan yang diambil karakternya, The Trunk menantang kita untuk merenungkan kembali: apakah cinta saja cukup sebagai bekal pernikahan, ataukah kita perlu terlebih dahulu menyembuhkan diri dari berbagai trauma masa lalu sebelum benar-benar mampu mencintai dan dicintai?