Data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 yang dilaporkan mencapai 5,12% telah menimbulkan keraguan di kalangan masyarakat maupun ekonom. Angka ini dinilai kurang sejalan dengan indikator lain, seperti data penjualan mobil yang menunjukkan kelesuan. Fenomena ini memicu pertanyaan mengenai validitas proyeksi ekonomi dan indikator yang digunakan.
Menurut Policy and Program Director Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti), Piter Abdullah, pergeseran pola konsumsi masyarakat menjadi faktor utama di balik perbedaan antara capaian pertumbuhan ekonomi yang dirilis dengan prediksi para ekonom. Piter menjelaskan bahwa saat berdiskusi dengan Badan Pusat Statistik (BPS), terungkap adanya pergeseran perilaku masyarakat yang signifikan, sebuah aspek krusial yang perlu dipertimbangkan dalam analisis data ekonomi.
Piter mencontohkan, perubahan gaya hidup, terutama di kalangan generasi Z, telah menggeser minat konsumsi. Generasi ini cenderung tidak lagi tertarik membeli mobil, melainkan lebih memilih aktivitas seperti bepergian atau jalan-jalan. Padahal, selama ini data penjualan mobil dan semen kerap dijadikan indikator utama oleh para ekonom untuk membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi. Ironisnya, Piter mencatat, “Ini kemudian tercermin dari angka penjualan mobil yang turun tapi mobilitas masyarakat kita tinggi sekali. Lagi banyak jalan-jalan terutama saat liburan.”
Fakta ini didukung oleh data BPS yang menunjukkan sektor jasa lainnya mengalami pertumbuhan tinggi sebesar 11,31% pada kuartal II 2025. Peningkatan drastis ini sebagian besar dipicu oleh melonjaknya aktivitas wisata. Jumlah wisatawan nusantara mencapai 331,37 juta perjalanan, naik signifikan sebesar 22,32% secara tahunan (yoy). Sementara itu, wisatawan mancanegara juga mencatatkan 3,89 juta kunjungan, tumbuh 13,96% yoy. Piter menambahkan, momen libur Lebaran turut berkontribusi besar terhadap peningkatan mobilitas masyarakat, yang kemudian mendorong konsumsi di sektor perhotelan dan restoran.
Meski demikian, Piter menekankan bahwa peningkatan ini tidak serta-merta berarti konsumsi masyarakat secara keseluruhan naik secara signifikan. Ia menilai masyarakat masih cenderung menahan konsumsi di sektor lain. Hal ini tercermin dari angka konsumsi BPS yang hanya naik tipis dari 4,95% menjadi 4,97% secara tahunan pada kuartal II.
Daya Beli Tetap Dijaga
Menanggapi dinamika konsumsi ini, Direktur Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Masyita Crystallin, menegaskan komitmen pemerintah untuk terus menjaga daya beli masyarakat. Upaya ini krusial agar konsumsi masyarakat tidak terganggu. Masyita menjelaskan bahwa daya beli tidak hanya bergantung pada pendapatan, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh tingkat inflasi.
Menurut Masyita, daya beli masyarakat saat ini masih terjaga dengan baik. Kondisi ini yang memberikan kepercayaan bagi Bank Indonesia untuk mempertimbangkan penurunan suku bunga acuannya. “Jadi tetap menjaga daya beli masyarakat dan juga menjaga konsumsi masyarakat tetap baik melalui sektor-sektor yang berkembang sehingga income masyarakat itu tetap terjaga levelnya,” pungkas Masyita, menegaskan fokus pemerintah pada stabilitas ekonomi makro dan dukungan terhadap sektor-sektor yang berpotensi tumbuh.