Indonesia memiliki peluang besar untuk mendominasi pasar global dalam produksi katoda tembaga, sebuah komoditas krusial di era transisi energi. Potensi ini ditegaskan oleh Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas, yang menyoroti melimpahnya cadangan mineral dan ketersediaan tembaga di tanah air. Di tengah persaingan global untuk membangun pembangkit listrik berbasis energi terbarukan dan mendorong transisi energi, permintaan akan tembaga melonjak tajam, menjadikannya aset strategis bagi masa depan.
Lonjakan permintaan ini bukan tanpa alasan. Tony Wenas memaparkan bahwa sejumlah besar perusahaan yang memerlukan katoda tembaga sebagai bahan baku utama kini mulai melirik Indonesia sebagai tujuan investasi. Terlebih lagi, pasar global menunjukkan harga yang menjanjikan, sekitar US$ 4,7 atau setara Rp 78.000 per pon (dengan kurs Rp 16.610/US$), yang terus mendorong minat dan kebutuhan akan komoditas ini. Salah satu pendorong utamanya adalah masifnya penggunaan tembaga untuk kebutuhan kendaraan listrik, di mana 65% dari total tembaga dunia dialokasikan untuk sektor ini. Ketersediaan tembaga yang melimpah ini, menurut Tony, akan menjadi magnet kuat bagi geliat investasi hilirisasi tembaga di dalam negeri, menciptakan nilai tambah yang signifikan bagi perekonomian nasional.
Optimisme ini terbukti dengan data realisasi investasi hilirisasi. Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) melaporkan bahwa pada triwulan II 2025, total realisasi investasi di sektor mineral mencapai angka fantastis Rp 96,2 triliun. Dari jumlah tersebut, investasi tembaga menorehkan angka Rp 22,3 triliun, menunjukkan komitmen nyata terhadap pengembangan industri hilir tembaga. Meski demikian, sektor nikel masih memimpin daftar realisasi investasi di bidang hilirisasi mineral, dengan catatan Rp 46,3 triliun, menandakan potensi besar yang masih dapat digali di sektor tembaga.
Di balik prospek ekonomi yang cerah, muncul sebuah dimensi penting yang tak kalah krusial: penciptaan Hilirisasi yang Adil. Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi BKPM, Nurul Ichwan, menekankan bahwa pemerintah menginginkan industri hilir yang benar-benar berpihak pada Indonesia. Ini bukan sekadar tentang menarik investor, melainkan memastikan bahwa investor yang masuk tidak hanya mengambil bahan baku, tetapi juga berkontribusi secara signifikan dan berkelanjutan bagi bangsa.
Untuk mewujudkan prinsip keadilan ini, pemerintah harus merumuskan kebijakan yang tegas dan berpihak. Salah satu contohnya adalah mendorong upaya mitigasi yang serius dari perusahaan jika aktivitas mereka berpotensi merugikan lingkungan, memastikan pertumbuhan ekonomi tidak mengorbankan keberlanjutan alam.
Senada dengan pandangan tersebut, Managing Director Asia SEDEX, Walter Lin, menegaskan pentingnya menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan kondisi lingkungan dan sosial. Menurutnya, jika pembuat kebijakan di Indonesia berhasil menanamkan prinsip ini, maka Indonesia dapat menjadi teladan bagi negara-negara lain dalam praktik investasi yang bertanggung jawab. Saat ini, khususnya di sektor perbankan, keseimbangan aspek sosial dan lingkungan telah menjadi prasyarat investasi yang tidak bisa ditawar. Ini mencakup perlindungan hak-hak masyarakat lokal, masyarakat adat, dan komunitas lainnya, serta penyediaan pekerjaan hijau (green jobs) dengan gaji yang layak, sebagai pilar utama dari investasi berkelanjutan.