Pemadaman Listrik 5 Jam/Tahun? Kualitas Listrik RI Masih Bermasalah

Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menggarisbawahi urgensi peningkatan kualitas layanan kelistrikan nasional. Meskipun akses listrik telah menjangkau hampir seluruh pelosok Indonesia, tantangan signifikan masih membayangi. Dalam pidatonya di PYC International Energy Conference (IEC) 2025 pada Sabtu (23/8), AHY menyampaikan bahwa pencapaian akses listrik sebesar 99,83% merupakan prestasi besar bagi negara kepulauan ini.

Namun, di balik capaian tersebut, masyarakat masih kerap menghadapi pemadaman listrik yang rata-rata berlangsung lebih dari lima jam setiap tahunnya, disertai dengan beragam gangguan layanan. “Kualitas listrik kita masih belum merata. Rumah tangga masih mengalami pemadaman lebih dari lima jam per tahun. Produktivitas listrik juga tetap rendah, hanya menyumbang kurang dari 2% pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB),” tegas AHY, menyoroti dampak kualitas listrik terhadap perekonomian dan kehidupan sehari-hari.

Menghadapi kenyataan ini, AHY menekankan bahwa transisi energi menuju target emisi nol bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060, atau bahkan lebih cepat, merupakan sebuah keharusan yang membutuhkan investasi kolosal. Pemerintah memperkirakan kebutuhan investasi untuk agenda transisi energi ini dapat mencapai angka fantastis, yakni lebih dari US$1 triliun atau sekitar Rp1,63 kuadriliun, dalam kurun waktu 30 tahun mendatang.

Angka investasi yang masif ini, menurut AHY, adalah biaya yang harus ditanggung saat ini untuk menghindari konsekuensi yang jauh lebih besar di masa depan. “Skalanya memang besar, tetapi biaya ini jika kita tidak ditindak akan jauh lebih besar,” ujarnya. Selain itu, subsidi energi yang mencapai Rp6,7 triliun pada tahun 2023 dinilai telah membebani anggaran negara, sehingga menuntut adanya strategi pembiayaan baru yang lebih inovatif dan berkelanjutan untuk transisi energi.

Buat Arsitektur Keuangan Baru

Untuk menjawab tantangan pembiayaan raksasa tersebut, AHY menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat bergerak sendiri. Diperlukan sinergi kuat dan dukungan penuh dari sektor swasta, lembaga keuangan pembangunan, serta investor, melalui mekanisme pembiayaan yang inovatif. Berbagai instrumen strategis diusulkan, meliputi blended finance, jaminan kredit, viability gap funding, hingga penerbitan obligasi hijau.

AHY menambahkan, kehadiran kerangka kerja keuangan yang transparan dan disiplin merupakan kunci untuk menekan risiko investasi dan meningkatkan daya tarik proyek-proyek hijau. Hal ini krusial untuk menarik modal yang diperlukan. “Singkatnya, kita butuh arsitektur keuangan baru yang mampu mengubah ambisi iklim menjadi kenyataan yang dapat diinvestasikan,” jelas AHY, menyoroti pentingnya pondasi finansial yang kokoh.

Lebih lanjut, AHY menyatakan bahwa transisi energi bukan lagi sekadar opsi, melainkan telah menjadi kebutuhan vital dari perspektif ekonomi, sosial, sekaligus geopolitik. Oleh karena itu, pemerintah telah menjadikan keberlanjutan sebagai prioritas utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, khususnya dalam sektor infrastruktur dan investasi publik, guna mewujudkan masa depan energi yang lebih baik.

Ringkasan

Meskipun akses listrik di Indonesia telah mencapai 99,83%, kualitasnya masih menjadi masalah. Rata-rata masyarakat mengalami pemadaman lebih dari lima jam per tahun, berdampak pada produktivitas dan perekonomian. Hal ini ditegaskan oleh Menko Infrastruktur, Agus Harimurti Yudhoyono, yang juga menyoroti rendahnya kontribusi sektor listrik terhadap PDB, kurang dari 2%.

Untuk meningkatkan kualitas kelistrikan dan mencapai target emisi nol bersih pada 2060, dibutuhkan investasi besar lebih dari US$1 triliun. Pemerintah berupaya menarik investasi swasta melalui berbagai instrumen finansial inovatif dan menekankan pentingnya arsitektur keuangan baru yang transparan dan berkelanjutan untuk mendukung transisi energi ini. Keberlanjutan energi menjadi prioritas utama RPJMN 2025-2029.