Ussindonesia.co.id Fokus The Federal Reserve (The Fed) nampaknya mulai bergeser. Dari memerhatikan inflasi ke risiko ketenagakerjaan Amerika Serikat (AS). Perubahan itu membuka peluang pemangkasan suku bunga acuan (Fed funds rate) pada pertemuan September 2025 mendatang.
“Sentimen ini mendorong ekspektasi penurunan yield US Treasury, pelemahan dolar AS (USD), serta penguatan aset berisiko di saham dan pasar emerging markets,” ucap Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro kepada Jawa Pos, Senin (25/8).
Proyeksi itu juga didukung oleh keyakinan pasar. Dengan probabilitas berdasarkan CME FedWatch meningkat menjadi 93 persen dari sebelumnya 75 persen. Mengingat, Gubernur The Fed Jerome Powell menekankan kondisi AS saat ini menimbulkan kekhawatiran risiko kenaikan pengangguran secara tiba-tiba melalui gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Makanya, pasar global akan menjadikan rilis data AS pekan ini sebagai acuan arah kebijakan moneter The Fed. Peningkatan penjualan rumah baru AS pada Juli 2025 sebesar 0,6 persen dari bulan sebelumnya menjadi 627 ribu unit menunjukkan sektor perumahan masih cukup resilien.
Namun, tekanan dari pelemahan durable goods orders dan kontraksi manufaktur regional memberi sinyal bahwa perlambatan ekonomi semakin nyata. “Jika, tren ini berlanjut, pasar akan semakin yakin bahwa The Fed perlu menurunkan suku bunga untuk mencegah risiko penurunan tajam di pasar tenaga kerja maupun investasi,” ujar Asmo.
Dalam jangka pendek, hal ini berpotensi mendorong penurunan yield US Treasury, pelemahan USD, serta arus masuk modal ke emerging markets, termasuk Indonesia. Meski, investor tetap harus mewaspadai pemangkasan suku bunga yang terlalu cepat juga bisa dipersepsikan sebagai respons terhadap perlambatan ekonomi yang lebih dalam.
Sebab, kebijakan yang terlalu dini dapat membatasi sentimen positif di pasar. “Dengan mempertimbangkan aspek tersebut, memperkirakan nilai tukar rupiah berpotensi bergerak di kisaran Rp 16.285-16.358 per USD. Sementara imbal hasil surat berharga negara (SBN) tenor 10 tahun tetap terjaga di rentang 6,30-6,50 persen,” kata alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1995 itu.
Berdasarkan data hingga jeda perdagangan pukul 12.00, imbal hasil SBN tenor 10 tahun turun 2,20 basis point (bps) ke level 6,34 persen. Sementara imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun naik 1,56 bps ke level 4,27 persen. Sedangkan, indeks USD (DXY) naik 0,24 persen ke level 97,9.
Untuk nilai tukar rupiah menguat 0,59 persen ke level Rp 16.248 per USD. Mata uang lain di kawasan Asia cenderung bervariasi. Yang mana Baht Thailand (THB) mengalami pelemahan terdalam sebanyak 0,69 persen. Ringgit Malaysia (RM) menguat 0,57 persen.