Ussindonesia.co.id – JAKARTA. Pasar minyak mentah global kembali bergejolak, dengan harga minyak West Texas Intermediate (WTI) mengalami koreksi signifikan. Salah satu sentimen utama yang memengaruhi pergerakan ini adalah harapan akan prospek kesepakatan damai antara Rusia dan Ukraina yang kembali menyeruak.
Pada Senin, 11 Agustus 2025, pukul 14.32 WIB, harga minyak WTI terpantau turun 0,89% secara harian. Lebih jauh, dalam sepekan terakhir, harga komoditas strategis ini telah terkoreksi sebesar 4,61%, mencapai level US$ 63,31 per barel, menurut data dari Trading Economics. Penurunan ini mencerminkan sensitivitas pasar terhadap dinamika geopolitik yang terus berkembang.
Pengamat mata uang dan komoditas, Ibrahim Assuaibi, menyoroti bahwa koreksi harga minyak ini tak lepas dari rencana pertemuan penting antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin yang dijadwalkan pada 15 Agustus mendatang. Ibrahim menjelaskan, salah satu topik krusial yang akan dibahas dalam pertemuan tersebut adalah situasi geopolitik di Eropa, termasuk prospek konkret menuju kesepakatan damai antara Rusia dan Ukraina. “Itu yang membuat harga minyak mengalami penurunan,” ujar Ibrahim saat dihubungi Kontan, Senin (11/8/2025).
Selain prospek perdamaian, Ibrahim menambahkan bahwa sentimen lain yang turut menekan harga minyak adalah kemungkinan berakhirnya sanksi yang selama ini membatasi pasokan minyak dari Rusia ke pasar global. Di sisi lain, tekanan dari AS agar India mengurangi pembelian minyak dari Rusia juga menjadi faktor penting. India sendiri selama ini dikenal sebagai salah satu importir terbesar minyak dari Rusia, sehingga kebijakan impornya memiliki dampak besar pada pasokan global.
Sementara itu, Research and Development ICDX, Girta Putra Yoga, menyoroti faktor lain yang memicu volatilitas harga minyak. Serangan drone terbaru yang dilancarkan Ukraina di wilayah Saratov, Rusia Selatan, pada Minggu sebelumnya, telah menewaskan satu orang serta merusak beberapa apartemen dan fasilitas industri. Insiden ini, yang menyebabkan kilang minyak milik Rosneft di kota Saratov terpaksa menghentikan operasi demi alasan keamanan, berpotensi memengaruhi jalannya pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada 15 Agustus di Alaska, yang dijadwalkan untuk membahas potensi pengakhiran perang Ukraina.
Yoga menambahkan, faktor lain yang turut membebani harga minyak mentah adalah pernyataan dari Kanada. Departemen Keuangan Kanada pada Jumat lalu mengumumkan rencana untuk bergabung dengan beberapa sekutu terdekatnya dalam upaya menurunkan batas harga minyak Rusia. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap perang Ukraina yang masih berlanjut. Kanada berencana menurunkan batas harga minyak mentah asal Rusia yang diangkut melalui laut menjadi US$ 47,60 per barel, dari sebelumnya US$ 60 per barel, memberikan tekanan lebih lanjut pada harga komoditas ini.
Meskipun sentimen negatif mendominasi, para analis tetap optimis terhadap prospek harga minyak di masa depan. Ibrahim memproyeksikan harga minyak mentah pada akhir tahun 2025 dapat mencapai US$ 75 per barel. Adapun menurut Yoga, harga minyak berpotensi menemui posisi resistansi terdekat di level US$ 66 per barel. Namun, jika ada katalis negatif yang muncul, harga minyak berpeluang turun ke level dukungan terdekat di US$ 61 per barel, menandakan pasar minyak yang masih akan sangat dinamis di tengah ketidakpastian geopolitik.