Arah kebijakan moneter BI 2026, perluas likuiditas dan jaga stabilitas rupiah

Ussindonesia.co.id – , JAKARTA — Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan arah kebijakan moneter BI pada 2026 mendatang. Di antaranya adalah melanjutkan ekspansi likuiditas untuk mendorong uang primer tumbuh double digit.

“Kalau bicara kebijakan moneter, yang kami lakukan adalah melalui tiga instrumen utama. Pertama instrumen suku bunga, kedua instrumen stabilisasi nilai tukar, dan ketiga instrumen pengelolaan atau ekspansi likuiditas melalui operasi moneter,” kata Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Bulan Desember 2025 yang digelar secara virtual, Rabu (17/12/2025) lalu.

Perry menerangkan, terkait kebijakan suku bunga, BI telah memangkas suku bunga sebanyak enam kali, yakni pada September 2024, Januari 2025, Mei 2025, Juli 2025, Agustus 2025, dan September 2025. Masing-masing penurunan sebesar 25 basis poin (bps) sehingga kini berada di level 4,75 persen.

“Kami sampaikan ke depan masih ada ruang penurunan suku bunga. Dasar pertimbangannya adalah proyeksi inflasi yang tetap rendah dan terkendali, serta perlunya bersama Pemerintah dan berbagai pihak untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi,” ungkapnya.

Perry menyebut, mengenai besaran penurunan maupun waktu pelaksanaannya, BI akan melakukan evaluasi setiap bulan melalui asesmen. Asesmen tersebut akan memperhatikan tingkat inflasi, stabilitas nilai tukar, angka pertumbuhan ekonomi, serta berbagai faktor lain yang memengaruhi kebijakan moneter.

Instrumen berikutnya adalah stabilisasi nilai tukar rupiah. Perry memastikan BI akan terus melanjutkan berbagai strategi untuk menjaga stabilitas rupiah di tengah kondisi ketidakpastian global yang masih tinggi.

Langkah tersebut dilakukan melalui intervensi di pasar luar negeri non-delivery forward (NDF), baik di pasar Asia, Eropa, maupun Amerika Serikat (AS). Selain itu, intervensi juga dilakukan di pasar valuta asing (valas) domestik, baik secara spot, domestic non-delivery forward (DNDF), maupun melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

“Instrumen ketiga adalah ekspansi likuiditas. Kami akan meningkatkan pertumbuhan uang primer hingga arahnya mulai Desember dan sepanjang tahun ke depan berada pada level double digit,” ujarnya.

Dengan konsistensi penyaluran likuiditas ke perbankan, BI berharap likuiditas tersebut dapat tersalurkan secara optimal ke sektor riil sehingga mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Perry menegaskan BI terus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk memaksimalkan upaya tersebut.

“Tentu saja ini membutuhkan sinergi dengan kebijakan fiskal. Karena itu, kami berkoordinasi erat dengan Menteri Keuangan agar aliran likuiditas di perbankan benar-benar mengalir ke sektor riil,” tuturnya.

Lebih lanjut, Perry menerangkan cara meningkatkan ekspansi likuiditas, baik di pasar uang maupun perbankan. Pertama, melalui penurunan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Berdasarkan data BI, ekspansi likuiditas rupiah dilakukan melalui penurunan posisi instrumen moneter SRBI dari level Rp 916,97 triliun pada awal 2025 menjadi Rp 735,67 triliun per 16 Desember 2025. Penurunan SRBI yang mendekati Rp 200 triliun tersebut dinilai mampu menambah likuiditas.

Selain menurunkan SRBI, BI juga terus membeli SBN sebagai bentuk sinergi antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Berdasarkan data BI, hingga 16 Desember 2025, BI telah membeli SBN senilai Rp 327,45 triliun, termasuk pembelian di pasar sekunder dan program debt switching dengan Pemerintah sebesar Rp 241,99 triliun.

“Kami juga meningkatkan efektivitas ekspansi likuiditas ke sektor keuangan agar perbankan terus menyalurkan likuiditas ke sektor riil, yakni dengan memberikan remunerasi bagi perbankan yang menempatkan kelebihan likuiditasnya pada excess reserve. Excess reserve yang kami berikan remunerasi sebesar 25 basis poin di bawah deposit facility, yaitu 3,5 persen,” jelasnya.

Upaya tersebut diyakini akan membuat perbankan memiliki fleksibilitas yang lebih besar untuk lebih aktif menyalurkan kelebihan likuiditas di sektor keuangan, khususnya untuk memperkuat sektor riil.

Dengan berbagai langkah ekspansi likuiditas tersebut, Perry menegaskan keyakinannya bahwa pertumbuhan uang primer dapat bergerak di level dua digit, mulai Desember 2025 dan berlanjut sepanjang 2026.

Kredit Perbankan Masih di Bawah Target BI

Seorang nasabah sedang dilayani oleh teller bank. – (Dok. Republika)

BI juga menyampaikan pembaruan pertumbuhan kredit perbankan per November 2025 yang tercatat sebesar 7,74 persen secara tahunan (year on year/yoy). Meski meningkat dibandingkan pertumbuhan kredit pada bulan sebelumnya, capaian tersebut masih berada di bawah kisaran target 8–11 persen.

“Kredit perbankan pada November 2025 tercatat tumbuh sebesar 7,74 persen (yoy), meningkat dari 7,36 persen (yoy) pada bulan sebelumnya. Permintaan kredit terindikasi belum kuat, dipengaruhi perilaku wait and see pelaku usaha, optimalisasi pembiayaan internal oleh korporasi, serta penurunan suku bunga kredit yang masih lambat,” kata Perry.

Perry menerangkan, data fasilitas pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan) pada November 2025 masih besar, yakni mencapai Rp 2.509,4 triliun atau 23,18 persen dari plafon kredit yang tersedia.

Sementara dari sisi penawaran, kapasitas pembiayaan bank dinilai tetap memadai. Kondisi tersebut ditopang oleh rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang meningkat menjadi 29,67 persen serta Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tumbuh sebesar 12,03 persen (yoy) pada November 2025.

“Perkembangan ini turut didorong oleh ekspansi likuiditas moneter dan pelonggaran KLM (kebijakan insentif likuiditas makroprudensial) Bank Indonesia, serta ekspansi keuangan Pemerintah, termasuk penempatan dana Pemerintah pada beberapa bank besar,” terangnya.

Perry melanjutkan, minat penyaluran kredit perbankan secara umum masih dinilai baik. Hal tersebut tercermin dari persyaratan pemberian kredit (lending requirement) yang semakin longgar, kecuali pada segmen kredit konsumsi dan UMKM akibat meningkatnya risiko kredit pada kedua segmen tersebut.

“Kondisi ini memengaruhi pertumbuhan kredit UMKM pada November 2025 yang terkontraksi sebesar 0,64 persen (yoy),” ungkapnya.

Untuk meningkatkan kinerja pertumbuhan kredit perbankan ke depan, Perry memastikan BI akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) guna mendorong pertumbuhan kredit dan pembiayaan perbankan, sekaligus memperbaiki struktur suku bunga.

“Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit 2025 berada pada batas bawah kisaran 8–11 persen (yoy), dan akan meningkat pada 2026,” ujarnya.