BI Tahan Suku Bunga, Mampu Tarik Inflow Asing ke Pasar Obligasi?

Ussindonesia.co.id , JAKARTA – Sejumlah analis menilai keputusan Bank Indonesia untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 4,75% masih memiliki potensi untuk mendatangkan dana asing ke pasar obligasi Tanah Air.

Meskipun begitu, kalangan analis pesimistis jika pasar obligasi bisa mencatatkan net buy di penghujung tahun.

Berdasarkan data DJPPR Kementerian Keuangan per 17 November 2025, tercatat porsi kepemilikan SBN Rupiah yang dapat diperdagangkan oleh investor nonresiden sebesar Rp869,86 triliun. Nilai ini menunjukkan arus keluar asing (foreign capital outflow) sebesar Rp10,49 triliun sejak awal tahun.

: Investor Asing Lepas SBN Rp10,49 Triliun, Rupiah Makin Terbebani

Dengan kondisi sekarang, Indonesia menjadi satu-satunya pasar di Asia Tenggara yang mengalami arus keluar bersih obligasi asing tahun ini. Nilai tukar rupiah pun telah terdepresiasi 3,8% sepanjang tahun yang menjadikannya mata uang dengan kinerja terburuk di Asia, seiring tekanan dari arus keluar asing.

Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto menilai bahwa keputusan BI untuk menahan BI Rate sebetulnya turut diprediksi menahan laju yield SUN untuk menguat lebih lanjut.

: : BI Serap SBN Rp289,9 Triliun, Mayoritas dari Debt Switching dengan Pemerintah

“Kalau kita lihat hari ini, Bank Indonesia belum mengubah [suku bunga]. Ya market sih, potensi penguatannya agak mengecil ya,” katanya saat dihubungi Bisnis, Rabu (19/11/2025).

Adapun saat ini, yield SUN bertenor 10 tahun telah terparkir di level 6,14%. Posisi itu memberikan spread sekitar 200 bps dengan yield obligasi AS yang tengah berada pada posisi 4,12%. Di tengah kondisi ini, Ramdhan menilai, hingga akhir tahun, posisi yield SUN akan berada di kisaran 6,1–6,2%.

Ramdhan menyebut, aksi penahanan BI Rate yang dilakukan Bank Indonesia sebetulnya tidak memberikan sentimen positif terhadap pasar obligasi. Menurutnya, aksi ini lebih memberikan dampak yang stagnan terhadap pasar sebab dibutuhkan kombinasi berbagai sentimen untuk mampu menggerakkan pasar. Terlebih, The Fed belum memutuskan suku bunga acuannya.

“Selain suku bunga, ya pastinya pelaku pasar juga melihat faktor internal dan eksternal lain yang menggerakkan pasar. Terutama yang mereka tunggu kan, positifnya seperti apakah kondisi ini untuk mereka masuk ke market lebih aktif,” katanya.

Bicara peluang masuknya dana asing, Ramdhan cukup optimistis bahwa peluangnya masih terbuka, walaupun terbatas. Di satu sisi, Ramdhan menilai bahwa yield obligasi Tanah Air masih cukup kompetitif dibandingkan yield SUN serupa di negara emerging market.

Berdasarkan data World Government Bonds, yield SUN Tanah Air masih lebih tinggi dibandingkan India yang sebesar 6,52%. Meskipun begitu, spread yield SUN Indonesia masih cukup lebar dibandingkan Malaysia yang sebesar 3,44% atau Singapura sebesar 1,95%.

Hanya saja, di tengah peluang masuknya dana asing, Ramdhan menilai bahwa waktu yang dimiliki tidak memungkinkan pasar obligasi untuk mencatatkan net buy. Dalam satu bulan perdagangan, Ramdhan pesimistis capaian tersebut dapat terealisasi.

“Kalau saya lihat kondisi sekarang tinggal sebulan lagi dan kondisi global dan internal kita yang saat ini kita lihat, juga suku bunga belum berani untuk turun, saya rasa untuk kembali net buy asing agak berat sebetulnya. Pasar kita ditopang dengan domestik kita sendiri,” katanya.

Sementara itu, Portfolio Manager/Analyst Batavia Prosperindo Aset Manajemen Putri Nur Astiwi turut menilai bahwa peluang masuknya investor asing ke pasar obligasi Tanah Air cukup terbuka. Dia mengingatkan, pasar obligasi Indonesia telah didominasi oleh investor domestik bisa menjadi bantalan ketika ada tekanan dari munculnya net sell asing.

Meskipun begitu, masih diperlukan pemanis untuk mampu menghimpun dana asing di pasar obligasi, seperti arah kebijakan fiskal yang terang, independensi Bank Indonesia, hingga dan konsistensi program pemerintah. Begitu juga dengan stimulus dari kondisi eksternal.

“Peluang masuknya kembali aliran asing tetap ada, namun sangat ditentukan oleh faktor eksternal seperti meredanya volatilitas global, penurunan UST, dan arah kebijakan The Fed,” katanya kepada Bisnis, Rabu (19/11/2025).

Menurut Putri, di balik keputusan Bank Indonesia untuk menahan suku bunga hari ini, pasar sebetulnya masih mengekspektasikan ruang pelonggaran lanjutan oleh Bank Indonesia. Didukung oleh likuiditas domestik yang masih kuat, Putri menilai bahwa yield SUN akan tetap terjaga rendah hingga 2025 usai.

Namun, peluang penurunan lanjutan yield SUN dinilai akan terbatas. Putri menilai, pelemahan rupiah hingga volatilitas global menjadi biang keroknya.

“Terhadap AS, penahanan BI Rate ini berarti tidak mempersempit spread, sehingga spread 10Y SUN–UST diperkirakan relatif stabil berada di kisaran sekitar 200 bps saat ini,” katanya.

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.