September Effect untuk Bitcoin Diprediksi Tak Terjadi Tahun Ini, Apa Alasannya?

JAKARTA – Dunia aset kripto seringkali dihantui oleh fenomena yang dikenal sebagai September Effect, di mana harga Bitcoin (BTC) secara historis menunjukkan kecenderungan untuk melemah. Pola penurunan ini telah teramati secara konsisten sejak tahun 2013, di mana Bitcoin tercatat mengalami koreksi harga sebanyak delapan kali dari total dua belas bulan September. Rata-rata return negatif sebesar 3,8% setiap bulan kesembilan menjadi bukti kuat akan tren yang patut dicermati investor ini.

Mengawali bulan kesembilan pada tahun 2025 ini, tepatnya Senin (1/9/2025) pukul 15.36 WIB, harga Bitcoin berada di angka US$ 109.513. Angka ini merefleksikan koreksi sebesar 1,85% sepanjang sepekan terakhir, meskipun dalam 24 jam terakhir menunjukkan kenaikan tipis 0,59%.

Menurut pandangan Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, pola pelemahan harga Bitcoin di bulan September umumnya disebabkan oleh aksi investor yang cenderung merealisasikan keuntungan (profit-taking) setelah adanya reli harga yang signifikan selama musim panas.

Namun, untuk September 2025 ini, Fyqieh Fachrur menyuarakan optimisme yang berbeda. “Saya cukup optimistis tren negatif untuk Bitcoin bisa dipatahkan,” ungkapnya kepada Kontan, Senin (1/9/2025).

September Effect: Ancaman Bitcoin atau Peluang Beli?

Fyqieh Fachrur menambahkan bahwa meskipun Bitcoin telah mengalami koreksi pada Agustus 2025, ia melihatnya sebagai fondasi potensial untuk rebound bagi aset kripto dengan kapitalisasi pasar terbesar ini. Analisis historis menunjukkan bahwa pola serupa pernah terjadi pada tahun 2017, di mana harga Bitcoin justru berakhir positif di bulan September setelah mengalami tekanan di bulan Agustus.

Lebih lanjut, sentimen krusial yang harus dicermati para investor hingga akhir bulan ini adalah ekspektasi terhadap potensi pemangkasan suku bunga oleh The Fed.

“Prospek suku bunga yang lebih rendah umumnya akan melemahkan dolar AS dan secara bersamaan meningkatkan likuiditas di pasar, sebuah faktor yang menjadi angin segar bagi Bitcoin,” jelas Fyqieh.

Ini karena kebijakan pelonggaran moneter mengindikasikan perbaikan likuiditas global. Sebagian dari peningkatan likuiditas tersebut, secara alami, diperkirakan akan mengalir ke aset berisiko seperti kripto, dengan Bitcoin sebagai tujuan utamanya.

Di samping itu, Fyqieh juga menyoroti fundamental pasar kripto yang dinilainya masih tergolong kuat. Ia memaparkan bahwa berdasarkan data on-chain dari Glassnode, indikator SOPR (Spent Output Profit Ratio) merupakan alat vital untuk menganalisis apakah investor saat ini menjual Bitcoin mereka dalam kondisi meraup keuntungan (SOPR > 1) atau justru mengalami kerugian (SOPR < 1).