Tren IPO dinilai tetap ramai meski ada perubahan regulasi

Ussindonesia.co.id JAKARTA. Sejumlah analis menganggap adanya perubahan regulasi terbaru di pasar modal, seperti alokasi penjatahan efek hingga penambahan free float, tetap akan membuat tren hajatan Initial Public Offering (IPO) 2026 ramai.

Seperti yang diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merevisi aturan terkait dengan alokasi penjatahan efek dalam IPO yang tertuang dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) No. 25 Tahun 2025. Melalui aturan ini, investor ritel mendapat porsi yang lebih setara dengan investor non-ritel dengan rasio penjatahan efek menjadi 1:1 dari sebelumnya 1:2.

Selain itu, OJK dan Bursa Efek Indonesia (BEI) juga tengah serius mematangkan rencana kenaikan minimal free float saham di kisaran 10%–15%.

Investment Analyst Infovesta Utama Ekky Topan mengatakan, penyesuaian regulasi terkait penjatahan efek dan kenaikan batas free float akan membuat proses IPO menjadi lebih adil, namun juga lebih menantang bagi sebagian calon emiten yang hendak IPO.

IHSG Koreksi Usai The Fed Pangkas Suku Bunga, Ini Proyeksinya Besok (12/12)

Skema penjatahan dengan rasio 1:1 antara investor ritel dan non-ritel membuat pihak underwriter harus memastikan minat dari dua segmen investor tersebut sama kuat, sehingga narasi IPO dan kredibilitas calon emiten menjadi semakin krusial.

“Ekspektasi saham untuk oversubscribe dan ARA (auto reject atas) terus-menerus pada awal berlangsungnya IPO mungkin akan berkurang,” ujar dia, Kamis (11/12/2025).

Sementara itu, kewajiban batas free float saham yang lebih besar dapat menjadi beban bagi emiten dengan struktur kepemilikan yang sangat terkonsentrasi. Sebab, mereka perlu melepas porsi saham yang lebih banyak ke publik.

Bagi underwriter, kondisi ini akan meningkatkan risiko jika fundamental emiten tidak solid dan menimbulkan potensi tekanan harga saham setelah pencatatan perdana di bursa. Namun, bagi emiten berkualitas dan punya narasi bisnis yang jelas, kebijakan ini justru akan meningkatkan daya tarik karena likuiditas dan transparansi yang membaik.

“Secara keseluruhan, regulasi baru ini mendorong kualitas IPO meningkat, meski membuat prosesnya lebih selektif dan menuntut kesiapan emiten yang lebih kuat,” jelas dia.

Secara terpisah, Managing Director Research dan Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia Harry Su menilai adanya aturan penyesuaian rasio penjatahan efek justru akan memperdalam pasar dan memperbaiki likuiditas di pasar saham.

Peluang IHSG Tembus Level 9.000 Masih Terbuka Meski Tertekan Sinyal Hawkish The Fed

Kebijakan ini akan menjadi tantangan bagi calon emiten yang sangat bergantung pada investor institusi atau yang belum populer di mata investor ritel.

Bagi pihak underwriter yang mengawal calon emiten untuk IPO, diperlukan adanya penyesuaian strategi bookbuilding lantaran kualitas permintaan tidak lagi bergantung secara dominan pada investor institusi.

Baik pihak emiten maupun underwriter juga perlu aktif melakukan edukasi kepada investor serta komunikasi pasar yang lebih intensif. Sebab, bagi emiten yang belum memiliki rekam jejak kuat atau merek yang belum dikenal secara luas, porsi penjatahan efek untuk investor ritel yang lebih besar berpotensi meningkatkan volatilitas harga saham usai listing.

“Namun, secara umum, kebijakan ini tidak menurunkan minat emiten untuk IPO,” tutur dia, Kamis (11/12/2025).

Harry juga menilai, peningkatan batas free float akan menambah likuiditas pasar lantaran bakal lebih banyak saham yang tersedia untuk diperdagangkan. Pada akhirnya, hal itu akan menarik investor institusi dan asing.

“Namun, kebijakan ini bisa memperlambat lonjakan harga saham IPO pada awal perdagangan, karena lebih banyak saham yang beredar di pasar,” pungkasnya.