Alasan Baru Pajak Online: Kemenkeu Ungkap Perubahan Mekanisme!

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, baru-baru ini menjelaskan alasan mendasar di balik langkah Kementerian Keuangan dalam menyesuaikan skema pemungutan pajak bagi pedagang online yang beroperasi melalui e-commerce. Penyesuaian ini dipandang krusial mengingat lonjakan nilai transaksi ekonomi digital Indonesia yang masif, bahkan diproyeksikan mencapai Rp 1.454 triliun pada tahun 2024. Angka ini menandai pertumbuhan sebesar 6,6 persen, jauh melampaui laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, namun belum seluruh aktivitas ekonomi digital tersebut berhasil tercakup dalam sistem perpajakan yang ada.

Dalam Webinar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) pada Selasa (26/8), Yon Arsal menyoroti, “Pertumbuhan transaksi (ekonomi digital) sangat signifikan. Totalnya itu sudah Rp 1.454 triliun pada tahun 2024, dengan pertumbuhan 6,6 persen. Ini jauh lebih tinggi dari pertumbuhan PDB.” Melihat tren ekspansi ini, pemerintah merasa perlu untuk menyelaraskan regulasi perpajakan demi memudahkan para pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban fiskal mereka. Salah satu upaya konkretnya adalah dengan mengatur ulang metode pemungutan pajak pedagang di platform digital.

Sebelumnya, para wajib pajak yang berjualan di platform digital harus secara mandiri menghitung, melaporkan, dan menyetorkan pajak yang terutang. Namun, melalui skema baru ini, prosesnya akan disederhanakan. “Maka saat ini kemudian melalui platform seperti platform tersebut yang melakukan pemotongan dan kemudian menyetorkannya ke kantor pajak,” jelas Yon. Ia menegaskan bahwa kebijakan ini bukanlah penciptaan jenis pajak baru, melainkan sekadar perubahan mekanisme untuk mencapai efisiensi dan kemudahan. Dengan demikian, beban administratif para pelaku usaha untuk menghitung dan menyetor pajak sendiri dapat berkurang.

Kebijakan ini juga diharapkan membawa keringanan bagi pedagang kecil. Pajak yang dipotong langsung oleh platform tetap dapat dikreditkan, khususnya bagi mereka yang memiliki omzet di atas Rp 4,8 miliar atau yang memenuhi syarat untuk tarif final 0,5 persen. Yon Arsal menekankan bahwa langkah ini esensial di tengah pesatnya pertumbuhan transaksi digital yang kini mendominasi sektor jasa di Indonesia. “Kita melihat bagaimana pemajakan transaksi digital ini juga menciptakan kondisi yang setara atau level playing field bagi seluruh industri,” pungkasnya.

Regulasi mengenai pemungutan pajak pedagang online ini termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. Beleid tersebut secara spesifik mengatur Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMK-37/2025). Salah satu pokok pengaturannya adalah penunjukan marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi yang dilakukan oleh pedagang (merchant) dalam negeri, dengan kewajiban bagi merchant untuk menyampaikan informasi kepada pihak marketplace sebagai dasar pemungutan.

Meski PMK-37/2025 telah berlaku, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Hestu Yoga Saksama, menjelaskan bahwa implementasinya masih menunggu Keputusan Direktur Jenderal (Kepdirjen) yang akan merinci kriteria marketplace sebagai pemungut pajak toko online. DJP saat ini tengah gencar melakukan sosialisasi langsung kepada beberapa marketplace besar terkait mekanisme pemungutan pajak ini. Selain itu, DJP juga sedang mengembangkan aplikasi khusus untuk memfasilitasi proses pemungutan pajak oleh marketplace.

“Kami sudah mengundang beberapa marketplace besar, kita sosialisasikan mereka juga butuh penyesuaian di sistemnya. Seketika mereka siap, kita juga membuatkan aplikasi khusus untuk mereka. Ketika mereka siap untuk implementasi ya mungkin dalam 1-2 bulan baru kita tunjuk mereka sebagai pemungut,” jelas Yoga dalam Media Briefing, Senin (14/7). Yoga belum merinci kriteria spesifik marketplace yang akan ditunjuk sebagai pemungut pajak, karena hal tersebut akan dijabarkan dalam Kepdirjen. Namun, ia mengindikasikan bahwa pemerintah akan memprioritaskan marketplace berskala besar terlebih dahulu.

Yoga juga merujuk pada pengalaman sebelumnya, di mana DJP pernah menunjuk 211 pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) besar untuk menjadi pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun 2020. Penunjukan tersebut juga dilakukan melalui penerbitan Kepdirjen, menjadi preseden positif bagi implementasi kebijakan pajak e-commerce ini.

Ringkasan

Kementerian Keuangan menyesuaikan skema pemungutan pajak online karena pesatnya pertumbuhan ekonomi digital Indonesia, yang diproyeksikan mencapai Rp 1.454 triliun pada tahun 2024. Perubahan mekanisme ini bertujuan untuk menyelaraskan regulasi dan memudahkan pedagang online dalam memenuhi kewajiban pajak mereka, bukan menciptakan jenis pajak baru. Sebelumnya wajib pajak menghitung dan menyetor pajak sendiri, namun kini platform e-commerce akan melakukan pemotongan dan penyetoran.

Implementasi regulasi ini, tertuang dalam PMK Nomor 37 Tahun 2025, masih menunggu Keputusan Direktur Jenderal (Kepdirjen) yang akan merinci kriteria marketplace sebagai pemungut pajak. DJP sedang melakukan sosialisasi dan mengembangkan aplikasi khusus untuk memfasilitasi pemungutan pajak oleh marketplace. Pemerintah akan memprioritaskan marketplace berskala besar dan belajar dari pengalaman penunjukan pemungut PPN pada PMSE sebelumnya.