Isu Payment ID Memata-matai Transaksi, BI Tegaskan Tidak untuk Ruang Privat

PIKIRAN RAKYAT – Bank Indonesia (BI)

menjelaskan bahwa Payment ID tidak akan digunakan untuk masuk ke ruang privat dengan mengecek satu per satu transaksi keuangan masyarakat.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Dicky Kartikoyono menegaskan Payment ID sepenuhnya tunduk pada prinsip kerahasiaan data pribadi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

“Isu Bank Indonesia ingin memata-matai, ingin mengetahui ruang privat individu masyarakat, itu tidak mungkin,” ujar Dicky di Jakarta, Selasa, 12 Agustus 2025, dikutip dari Antara.

Tujuan Penggunaan Payment ID

Dicky menjelaskan bahwa Penggunaan Payment ID lebih untuk mengetahui potensi perekonomian di sektor tertentu, bukan menyasar pada kegiatan transaksi individu. Bank Sentral kata dia, hanya berorientasi pada ranah kebijakan publik, bukan pada ranah individu.

“‘Tracking’ siapa beli sepatu, siapa beli di kafe, masa kita begitu, nggak akan itu dilakukan BI. Kita ingin tahu pertumbuhan industri sepatu, ingin tahu pertumbuhan hotel, restoran, dan kafe, tapi nggak akan pernah lihat data individu,” ujar dia.

Menurut Dicky, pertumbuhan perekonomian Indonesia membutuhkan dukungan data, misalnya saja di sektor UMKM. Banyak UMKM yang belum mendapatkan akses ke perbankan karena belum dikenal riwayat kreditnya oleh lembaga keuangan.

Untuk perluasan akses pembiayaan terhadap UMKM tersebut diperlukan dukungan Bank Sentral agar lembaga keuangan dapat mengenali lebih dalam potensi ekonomi UMKM. Jika lembaga keuangan ingin membuka data ekonomi UMKM perlu melewati proses yang cukup panjang dan mendapat persetujuan aktif (consent) nasabah pemilik data.

“Harus dengan persetujuan dari pemilik datanya, tidak bisa sembarangan. Itu backbone bisnis kepercayaan yakni bisnis perbankan. Sekarang keluar UU Perlindungan Data Pribadi, ‘privacy’ itu dilindungi betul, dan hanya bisa digunakan sesuai dengan persetujuan pemiliknya ini yang kami jaga betul,” kata dia.

Payment ID Masih Uji Coba

BI menyatakan Payment ID tidak akan diluncurkan pada 17 Agustus 2025 sebagaimana isu yang berkembang dalam beberapa waktu terakhir. BI menegaskan Payment ID saat ini masih dalam tahap uji coba.

Payment ID disiapkan untuk membantu pemerintah yang rencananya akan meluncurkan program bantuan sosial non tunai di Banyuwangi, Jawa Timur, pada September 2025. Peran Payment ID dalam penyaluran bansos itu masih menunggu ketentuan resmi dari pemerintah.

“Kita lagi tunggu, seperti apa yang harus kita bantu dengan melihat data yang ada di sistem keuangan,” ujar Dicky.

Payment ID merupakan unique identifier berjumlah sembilan karakter yang dihasilkan dari data kependudukan berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Identitas ini dirancang untuk mengonsolidasikan informasi keuangan individu, mulai dari rekening perbankan hingga akun dompet digital (e-wallet).

Menurut kajian BI, Payment ID juga akan berperan untuk melengkapi serta memperkuat analisis sektor keuangan, khususnya dalam penyaluran kredit, namun tidak akan menggantikan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Melalui Payment ID, setiap lembaga keuangan tetap harus memerlukan persetujuan aktif (consent) dari nasabah sebagai pemilik data, jika ingin mengetahui profil nasabah secara lebih akurat.

Kritik Ekonom Soal Payment ID

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengkritik kebijakan BI yang meluncurkan Payment ID.

Bhima mengatakan Payment ID mengancam privasi masyarakat dan seharusnya pemerintah fokus pada e-wallet saja.

“Jadi kurang pas pemerintah mendorong penerimaan pajak dengan mengintip semua transaksi. Seharusnya kan fokus saja pada rekening atau e-wallet dari penjual di e-commerce, jangan si pembeli ikut diintip juga data digitalnya,” ujar Bhima kepada Pikiran-rakyat.com, Kamis, 7 Agustus 2025.

Menurut Bhima, toh selama ini integrasi antara rekening bank dengan data perpajakan sudah berjalan.

“Kalau sampai pembeli barang e-commerce ikut diintip datanya, saya kira kebijakan draconian ini akan menurunkan trust pada ekosistem digital,” ujar dia.***