JAKARTA — Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini, mengeluarkan peringatan keras terkait usulan pengambilalihan paksa saham PT Bank Central Asia (BCA) Tbk. Menurutnya, langkah semacam itu sangat berbahaya bagi fondasi sistem ekonomi nasional. Didik mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengabaikan wacana ini, karena berpotensi merusak tatanan perbankan yang telah terbangun kokoh.
“Setelah melalui restrukturisasi yang panjang dan penuh tantangan, kondisi perbankan kita sebenarnya telah bertransformasi menjadi sangat kuat,” ungkap Didik dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Ahad (24/8/2025). Ia menjelaskan bahwa penguatan sistem keuangan dan perbankan ini merupakan buah dari kebijakan pasca-reformasi. Krisis nilai tukar 1998, yang menghancurkan perbankan kala itu, menjadi cambuk untuk melakukan perbaikan arsitektur kelembagaan perbankan secara menyeluruh, dengan hasil yang sungguh mengesankan.
Kekuatan perbankan nasional terbukti saat menghadapi guncangan krisis hebat ekonomi global 2008, di mana pasar modal ambruk lebih parah dari 1998. Namun, sektor perbankan tetap tegar. Demikian pula saat krisis Covid-19 pada 2019 yang mengguncang perekonomian dunia; perbankan Indonesia tetap berdiri kokoh, meski tingkat Loan at Risk (LAR)-nya sempat melonjak dua kali lipat, namun segera normal kembali pasca-pandemi.
Melihat rekam jejak ini, Didik menegaskan bahwa usulan negara untuk mengambil alih bank swasta adalah ide yang “sesat, tidak wajar, dan tidak waras.” Ia sangat khawatir langkah ini akan meruntuhkan kepercayaan pasar terhadap Indonesia. “Bank tidak akan lagi dipercaya, dan tidak ada investor yang mau menyarankan penanaman modal di BCA,” ujarnya. Kepercayaan publik terhadap saham BCA selama ini didasarkan pada pengelolaan yang baik dan transparan, mengingat statusnya sebagai bank publik.
Didik menyoroti peran strategis BCA yang, bersama Himbara (Himpunan Bank Milik Negara), telah menjadi pilar utama penopang perekonomian nasional. Kontribusi BCA dan bank-bank pelat merah sangat besar dalam penerimaan pajak, pertumbuhan kredit, serta pendorong dunia usaha. Oleh karena itu, narasi beruntun untuk mengambil alih saham BCA tanpa alasan jelas merupakan “tindakan anarki politik kebijakan.” Karena berasal dari partai politik, usulan ini menjadi “alarm bahaya” bagi iklim dan ekosistem perekonomian nasional.
Meskipun demikian, Didik mengaku sedikit lega dengan sikap pemerintah yang tampaknya tidak mengindahkan usulan tersebut. Ia mengapresiasi pernyataan CEO Danantara, Rosan Roeslani, yang telah membantah adanya rencana Danantara untuk mengambil paksa 51 persen saham BCA. “Negara harusnya berperan menjaga dan membangun pasar yang sehat, serta mendorong pertumbuhan dunia usaha yang kuat. Bukan sebaliknya, malah ikut campur tangan ke dalam pasar secara tidak bermutu yang justru akan merusaknya,” pungkas Didik, menekankan pentingnya peran negara sebagai fasilitator, bukan perusak pasar.
Ringkasan
Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini, memperingatkan bahaya dari wacana pengambilalihan paksa saham BCA. Ia menilai tindakan ini sangat berbahaya bagi sistem ekonomi nasional dan mendesak Presiden Prabowo untuk mengabaikan usulan tersebut. Didik menekankan bahwa sektor perbankan Indonesia telah kuat pasca-reformasi dan terbukti tangguh menghadapi berbagai krisis.
Didik menganggap usulan pengambilalihan BCA sebagai ide yang “sesat” dan khawatir akan meruntuhkan kepercayaan pasar. Ia menyoroti peran strategis BCA sebagai pilar utama perekonomian nasional bersama Himbara. Didik lega karena pemerintah tampaknya tidak mengindahkan usulan tersebut dan menekankan peran negara seharusnya menjaga pasar yang sehat, bukan merusaknya.